Gerakan Sekolah Menyenangkan, Petualangan Seru Dan Melompati Batasan
Setelah dua tahun lebih melatih membaca dan mendampingi sekolah-sekolah negeri dan sekolah pinggiran di berbagai kota di Indonesia, saya ingin membagikan asal mula bagaimana ide Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dibangun. Kebetulan tiga anak saya bersekolah di Clayton North Primary School, Victoria, Australia.
Setiap mengantar-jemput, saya selalu menyaksikan keceriaan, kegembiraan dan suasana menyenangkan terpancar dari wajah-wajah mereka. Jarang sekali saya dapati anak-anak itu lelah atau menyeret tas mereka dengan lesu sesampai di rumah. Mereka selalu berceloteh mengenai apa saja yang terjadi di sekolah. Misalnya si kecil Sora bercerita dengan antusias bagaimana dia mendapatkan penghargaan“student of the week”karena rajin membaca dan selalu tersenyum kepada teman-temannya ketika masuk kelas. Anak kedua kami, Jaeza, juga tidak kalah semangat menceritakan pengalamannya mendapatkan apresiasi dari gurunya karena sangat baik dalam melakukan riset (review) dari berbagai referensi terkait project di kelasnya.
Dari cerita-cerita ringan itu, saya melihat bahwa sekolah di Australia mampu menghadirkan suasana yang menyenangkan, untuk belajar dan bereksplorasi. Misalnya, siswa diajak memahami konsep matematika dan logika berpikir dengan cara bertutur, bercerita. Alih-alih menghapal rumus gravitasi, mereka misalnya diajarkan tentang perbedaan kecepatan jatuh sebuah benda akibat memiliki berat dan ketinggian yang tidak sama.
Anak-anak langsung diajarkan praktik sebuah logika peristiwa alam dan kemudian diajak untuk menemukan rumusnya melalui eksperimentasi langsung. Semua terlibat dalam sebuah petualangan. Ini suatu pendekatan yang menggabungkan ketiga aspek pengajaran yakni olah pikir, olah rasa dan olah karsa (tindakan nyata). Para siswa dilatih bagaimana memiliki keterampilan hidup, kebiasaan membaca setiap malam, menceritakan apa saja yang mereka bawa dari rumah di depan kelas (show and tell), musik, dan belajar bersosialisasi. Suatu proses belajar yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri dan kehalusan budi.
Untuk menciptakan sekolah yang aman, pengelola unit sekolah menerapkan aturan bahwa setiap siswa harus ditemani minimal dua kawan ketika pergi ke toilet. Mereka menerapkan sistem “buddy”. Siswa senior diwajibkan membantu, menemani dan menjaga yuniornya. Mereka dilatih untuk membuat komitmen bersama di sekolah atau kelas yang secara alamiah membentuk rasa tanggung jawab dan kepemimpinan.
Para siswa diberi tugas untuk menulis dan menceritakan siapa pahlawan mereka dan mengapa tokoh-tokoh tersebut dianggap sebagai hero. Siswa diajarkan untuk berpikir kritis, rasional dan bertanggung jawab atas pilihannya. Tak jarang pilihan pahlawan anak-anak itu sangat unik, misalnya tukang pengangkut sampah karena dianggap telah berjasa membuat. lingkungan selalu bersih, sehat dan jauh dari penyakit. Sebuah proses mendidik anak menjadi warga negara yang baik.
Ada juga ujian nasional yang disebut The National Assessment Program Literacy and Numeracy (NAPLAN). Tes yang ditujukan untuk anak kelas 3, 5, 7 dan 9. Tujuan utamanya ialah mengevaluasi sekolah dalam menerapkan metode belajar-mengajar (kurikulum), bukan mengevaluasi siswa di akhir. Asesmen ini tidak menempatkan siswa sebagai obyek ujian, melainkan pelaku utama (subyek) pendidikan untuk menentukan kebijakan sekolah mendatang.
Singkatnya anak-anak di sekolah Australia tidak dicekoki hukuman, hafalan rumus, beban mata pelajaran bahkan prestasi ujian nasional yang fantastis. Mereka lebih banyak dilatih bernalar, membangun keterampilan hidup melalui pelajaran memasak, pertukangan, berkebun, berbahasa bilingual, dan penumbuhan karakter positif sejak dini. Untuk mengajarkan inovasi dan pola pikir kritis, anak-anak tidak dibebani untuk menghafal, tetapi dilatih merefleksikan bacaannya melalui tulisan atau presentasi dengan argumentasi yang terukur.
Keberanian berpendapat dan team work dilatih dalam tradisi pemilihan school captain, semacam ketua OSIS untuk tingkat sekolah dasar. Para kandidat harus mendaftar dan menawarkan program-programnya lalu mereka berdebat di depan guru-guru dan teman-temannya. Mereka berargumen secara bergantian, tanpa memotong pembicaraan. Kebetulan anak sulung saya, Aliya Zahra, terpilih sebagai school captain saat duduk di kelas enam. Ia terpilih bukan hanya keberaniannya berbicara, tetapi juga empatinya saat mendengarkan pendapat teman-temannya serta tawaran programnya yang jelas untuk melaksanakan visi sekolahnya. Kampanye“revolusi mental”atau pendidikan karakter bukanlah sekadar jargon atau program, melainkan fondasi bagaimana sekolah dijalankan.
Sekarang, suasana seperti itu dapat dijumpai dan dinikmati anak-anak kita di sekolah-sekolah Indonesia. SDN Rejodani Sleman, SDN Karangmloko 2 Sleman, SD Muhammadiyah Mantaran dan Sidoarum Sleman, SMPN 7 Tangerang Selatan, MTSN 5 Tangerang, SD Lab School Unnes Semarang, SDN Karangmojo 2 Gunungkidul, SDN Kalikutuk Kulonprogo adalah contoh sekolah dari ratusan sekolah yang sedang berproses menerapkan platform GSM.
Meskipun awalnya skeptis, mereka kemudian membuka diri untuk bertanya lebih jauh tentang resep apa yang diajarkan oleh sekolah-sekolah di Australia seperti diulas di atas. Dengan penuh semangat belajar bertransformasi, guru-guru CNPS belajar bersama kami di GSM. Guru Australia itu datang ke Indonesia secara sukarela, menanggung biaya sendiri. Mereka mau datang dan berbagi pengalaman semata-mata didorong rasa kemanusiaan. Mereka ingin murid-murid Indonesia saat kembali ke tanah air dapat melanjutkan sistem pendidikan yang sama ketika bersekolah di Negeri Kangguru. Sikap kemanusiaan seharusnya selalu dipupuk jika kita memang tidak ingin tenggelam oleh arus perubahan zaman.
Begitulah. Seperti kata penelitian, ketika kita menutup diri dengan lingkungan luar maka kita cenderung defensif, dan kemudian bersikap negatif terhadap hal-hal yang berasal dari luar kita. Sebaliknya, mereka yang berkawan dan membuka diri akan menumbuhkan sikap ramah, toleran dan optimis menatap perubahan.
Optimisme akan harapan baru inilah yang membuat para guru di sekolah menyenangkan gigih memilih jalan terjal perubahan meskipun tidak mudah untuk mengadopsi konsep tersebut dalam sistem pendidikan Indonesia yang sangat kaku dan hirarkis. Mereka berani berubah karena tidak menginginkan siswa-siswi mereka dididik seperti cara mereka dulu berse kolah. Guru-guru tersebut menginginkan anak didik mereka berkembang dengan cara belajar yang baru dengan pendekatan dan sistem baru.
Proses transformasi itu menyadarkan mereka yang menginginkan agar para orang tua dan stake holder pendidikan di Indonesia dapat berpikir kritis dan tidak terjebak oleh jargon “internasionalisasi” yang hanya menggunakan bahasa asing dan bekerja sama dengan institusi asing. Bukan hanya belajar dengan fasilitas mahal, teknologi maju dengan kurikulum global, tetapi justru menekankan aspe pendidikan menalar, kreatif, kolaboratif serta budi pekerti yang sebenarnya telah diajarkan oleh para leluhur bangsa.
Saat ini sekolah-sekolah di Yogyakarta di atas telah menerapkan berbagai pendekatan, metode serta pengalaman praktis kami untuk membuat anak, orang tua dan komunitas merasa nyaman serta dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Mereka berubah, bukan karena ditunjuk atau mendapatkan dana hibah pemerintah, melainkan karena kemauan mereka sendiri (self-disruption) yang menginginkan anak didik mereka belajar dan tumbuh dalam iklim sekolah yang positif dan kondusif untuk pengembangan empat hal di atas.
Penelitian menunjukkan bahwa keamanan dan kenyamanan belajar dapat membuat anak betah di sekolah, termotivasi serta tumbuh rasa empati dan karakter positif lainnya. Sebuah sikap dirasakan mulai luntur di sekolah-sekolah Indonesia. Padahal sikap inilah yang justru akan meningkatkan prestasi akademik anak- anak kita.
Sekarang, sekolah-sekolah di pinggiran itu sering dikunjungi dan menjadi rujukan banyak sekolah di Indonesia. Mereka saling berbagi dan bertukar praktik pendidikan baik melalui kanal media sosial (teknologi) atau pun kelas-kelas pendampingan. Mereka memilih berkomunikasi-berkolaborasi tidak lagi berkompetisi. Semangat kolosal perubahan ini menumbuhkan optimisme baru bahwa Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dalam mutu pendidikan.
Perubahannya tidak harus besar, tapi dimulai dengan hal yang sederhana penuh sukacita dan dirayakan bersama-sama. Karena sudah saatnya bagi seluruh anak Indonesia merasakan sekolah sebagai “taman” yang menyenangkan dan penuh tantangan seperti yang pernah diajarkan Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantoro. Saya ingin “taman” itu kembali hadir di Indonesia agar seluruh anak negeri ini merasakan pengalaman bersekolah yang sama seperti yang pernah dialami ketiga putri kami di Australia.
Itulah semangat dan filosofi mengapa Gerakan Sekolah Menyenangkan ini didirikan.
Muhammad Nur Rizal, PhD Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (http://www.sekolahmenyenangkan.org)
Dosen DTETI UGM
What's Your Reaction?