Potret Pendidikan Di Daerah Terpencil

Jul 3, 2023 - 02:29
Jun 27, 2023 - 06:12
 0
Potret Pendidikan Di Daerah Terpencil
Foto ilustrasi di Freepik

Desember 2019, sebelum bencana pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Bank Dunia melansir hasil sebuah survei tentang kondisi pendidikan dasar di daerah-daerah pedesaan dan tertinggal. Khususnya di Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur. Survei itu baru dibuka ke publik Juni lalu dengan judul “Pendidikan Dasar di Pelosok Indonesia: Hasil Survei dari Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur” (Bank Dunia, 2019). Temuan ini patut menjadi catatan pemerintah pusat (terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dan pemerintah daerah.

Survei yang didukung pembiayaan penuh dari pemerintah Australia ini berlangsung pada 2016-2017 mencakup 270 sekolah dasar di desa terpencil di lima kabupaten yang termasuk berperingkat termiskin di Indonesia, yakni di Ketapang, Landak dan Sintang (Provinsi Kalimantan Barat), serta Manggarai Barat dan Manggarai Timur (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Responden survei mencakup kepala sekolah, guru, peserta didik, komite sekolah, orang tua dan kepala desa.

Di usia 75 tahun merdeka ini Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Walaupun akses ke pendidikan dasar di Indonesia telah mencapai partisipasi universal, kualitas layanan pendidikan dan hasil belajar peserta didik masih rendah.

Kekhasan karakteristik sekolah dalam hal ukuran kelas, komposisi guru dan manajemen sekolah perlu menjadi pertimbangan untuk mengambil kebijakan pendidikan. Meskipun rasio kelas cukup sebanding dengan rata rata nasional (20 murid per kelas di daerah terpencil dibandingkan dengan 23 di tingkat nasional), guru daerah terpencil sering harus menggantikan guru yang tidak hadir dan mengajar beberapa kelas (di 25% sekolah survei) meskipun belum terlatih untuk melakukannya. Hasil survei menunjukkan bahwa guru tetap yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru mencapai 40%, sehingga kekurangan tenaga pengajar diisi oleh guru honorer yang merupakan mayoritas dari tenaga pengajar yang ada (42.5% guru honorer dikontrak oleh sekolah dan 15,8% dikontrak oleh kabupaten atau provinsi). Walau penghasilannya masih sangat timpang, guru honorer masih menjadi tulang punggung pendidikan dasar di daerah-daerah terpencil.

Dibandingkan dengan guru tetap, guru honorer memiliki kualifikasi lebih rendah, gaji yang jauh lebih rendah dan karenanya lebih mungkin memiliki pekerjaan sampingan. Cukup banyak dari mereka yang tidak memiliki gelar pendidikan tinggi: 34% guru dan 18% kepala sekolah hanya lulusan sekolah menengah atas.

Survei ini juga mengungkapkan bahwa hampir sepertiga sekolah di Nusa Tenggara Timur menggunakan bahasa daerah dalam kegiatan belajar mengajar. Bukan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang seharus nya menjadi bahasa pengantar utama di sekolah dasar. Meskipun dengan bahasa daerah dapat meningkatkan pemahaman pembelajaran, kondisi ini menimbulkan tantangan ketika murid mengikuti ujian nasional dalam Bahasa Indonesia.

Ada empat poin ringkasan eksekutif survei tersebut. Pertama, ditemukan banyak sekolah dan desa studi yang terhalang konektivitasnya. Kondisi ini mungkin menghalangi guru-guru terbaik untuk bekerja di sini. Rata-rata lokasi survei berjarak 149 km atau lima jam dari kota kabupaten. Hanya 29% desa yang terhubung dengan jaringan listrik dan hanya 17% yang memiliki akses internet. Hasil survei mengindikasikan keragaman alokasi sumber daya: 91% sekolah memiliki toilet dengan rasio gender yang seimbang; 54% memiliki perpustakaan; namun hanya 39% memiliki buku teks yang memadai.

Sekolah dan desa memiliki berbagai keterbatasan yang menghambat peningkatan hasil pendidikan yang baik. Kesenjangan dalam bidang-bidang ini tidak akan dapat diatasi tanpa memperhatikan bagaimana dana dialokasikan dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan yang tepat. Pelaksanaannya harus benar-benar diawasi, dijaga dan dikawal. Bukan hanya berfokus pada jumlah alokasi.

Bank Dunia mengindikasikan bahwa kesenjangan dapat dikurangi dengan memprioritaskan alokasi pendanaan. Selain itu, renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru dapat memperbaiki kondisi kerja guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil.

Kedua, kualitas layanan pendidikan di sekolah-sekolah yang disurvei terkendala oleh kualifikasi guru, komposisi guru dan tuntutan mengajar multi kelas. Tiga puluh empat persen guru dan 18% kepala sekolah hanya memiliki pendidikan sekolah menengah atas. Guru PNS merupakan 40% dari seluruh tenaga pengajar, dengan kekurangannya (42,5%) diisi oleh guru honorer dan 15,8% tenaga pendidik yang dikontrak oleh kabupaten atau provinsi.

Ketiga, penghasilan guru sangat timpang. Pendapatan rata-rata saat guru PNS Rp 8,4 juta per bulan, sedang guru honorer rata-rata hanya menerima Rp 550.000. Hal ini sangat mempengaruhi motivasi guru. Perbedaan penghasilan guru bermuara pada status pegawai dan sertifikasi. Rerata penghasilan bulanan guru PNS yang tersertifikasi adalah Rp 8,4 juta, sementara PNS yang tidak tersertifikasi berpenghasilan sekitar Rp 4,6 juta per bulan. Guru honorer non-PNS berpenghasilan rendah, dengan pendapatan bulanan rata-rata Rp 550.000.

Karena alasan itu guru honorer terpaksa harus memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki kualifikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS. Walaupun rasio kelas hampir sebanding dengan rerata nasional (20 siswa per kelas di daerah yang disurvei dibandingkan dengan 23 di tingkat nasional), guru yang disurvei sering kali menggantikan guru yang tidak hadir dan harus mengajar beberapa kelas (di 25% sekolah) meskipun mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan terkait hal ini.

Keempat, ketidakhadiran guru di sekolah dan di kelas merupakan masalah serius. Kunjungan mendadak ke sekolah sampel mendapati 25 persen ruang kelas tanpa guru, dan 17 persen guru tidak hadir di sekolah pada hari tertentu. Riset menunjukkan bahwa guru laki-laki dan status PNS berkaitan dengan ketidakhadiran guru di kelas. Demikian juga kurangnya pengawasan dari kepala sekolah. Dengan kata lain, guru perempuan dan guru kontrak lebih sering mengajar. Hal ini juga menunjukkan bahwa guru yang dievaluasi cenderung memiliki tingkat kehadiran yang lebih baik di sekolah. Oleh karena itu, pengelola sekolah harus memastikan pemantauan dan pengawasan guru agar dapat meningkatkan kehadiran guru.

Survei menemukan tidak ada guru di 25% kelas. Di satu kelas, guru yang tidak hadir menugaskan seorang siswi menyalin tugas matematika untuk dikerjakan oleh semua murid di kelas.

Guru-guru mangkir mengajar adalah masalah serius. Bukan hanya masalah murid bolos. Kemangkiran guru secara langsung akan mempengaruhi apakah peserta didik itu belajar di sekolah atau tidak. Analisa tim menunjukkan bahwa kemangkiran guru berkorelasi positif dengan status pegawai negeri, guru laki-laki paling banyak mangkir dan rendahnya pengawasan oleh kepala sekolah. Dengan kata lain, guru honorer dan guru perempuan lebih sering mengajar.

Untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah terpencil, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kualifikasi dan keterampilan guru dan meningkatkan manajemen kinerja guru dan sistem akuntabilitasnya. Dalam jangka pendek, pelatihan pengembangan kapasitas harus memprioritaskan lebih banyak guru di daerah terpencil atau mewajibkan agar sejumlah persentase peserta minimum berasal dari daerah terpencil.

Dalam jangka panjang, guru yang berkualifikasi guru baru maupun yang sudah mengajar seharusnya mendapatkan insentif yang lebih baik untuk bekerja di daerah terpencil. Sebenarnya dari sisi kebijakan, bekerja di daerah terpencil seharusnya menghasilkan lebih banyak nilai kredit bagi guru untuk menjadi pegawai negeri, faktanya penempatan di daerah terpencil cenderung memiliki jangka waktu tidak terbatas sehingga membuat banyak guru berkecil hati. Evaluasi dampak yang dilakukan oleh KIAT Guru (Program Akuntabilitas dan Kinerja Guru) menemukan bahwa ketika masyarakat terlibat dalam peningkatan akuntabilitas guru dan tunjangan khusus guru dibayarkan berdasarkan kehadiran, maka hasil belajar murid juga meningkat.

Kelima, hasil belajar murid rendah. Ini yang paling memprihatinkan. Sebagian besar murid yang dites menunjukkan kemampuan yang tertinggal dua tingkat di bawah kelas yang mereka ikuti saat ini. Mereka belum menguasai standar dasar dari tingkat kelas sebelumnya. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika, sebagian besar siswa yang diuji mendapatkan nilai dua tingkat di bawah kelas yang mereka ikuti saat ini. Misalnya, murid kelas empat menunjukkan kompetensi murid kelas dua.

Tim peneliti menganalisis hasil belajar murid yang rendah itu sangat terkait dengan pendidikan orang tua yang rendah. Para orang tua lebih sedikit waktu yang didedikasikan untuk pendidikan anak mereka, dan sedikit sekali keterlibatan orang tua murid dengan komite sekolah dan guru.

Hal yang mengejutkan, orang tua puas dengan kualitas pendidikan dan hasil belajar. Ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki harapan yang sangat moderat terhadap kualitas pendidikan di sekolah, atau tidak sepenuhnya mengetahui standar pelayanan yang seharusnya diberikan oleh guru. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua kemungkinan akan meningkatkan tuntutan maupun keterlibatan mereka untuk pendidikan yang berkualitas. Pada akhirnya, kolaborasi antara guru dan orang tua untuk mendukung pembelajaran baik disekolah maupun dirumah kemungkinan akan membuahkan aspirasi yang lebih tinggi dan prospek karir bagi para peserta didik.

Berdasarkan temuan survei itu tim merekomendasi enam hal untuk meningkatkan hasil belajar di sekolah di daerah terpencil. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik dapat berkontribusi pada pendidikan yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi itu sendiri bukan jaminan bagi peningkatan hasil belajar murid. Untuk memberikan kualitas pendidikan yang lebih baik bagi

 

anak-anak di daerah terpencil, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk menjalankan serangkaian kebijakan yang komprehensif.

1. Perbaikan prasarana jalan, telekomunikasi dan listrik yang lebih baik akan berkontribusi pada kemudahan akses ke daerah-daerah terpencil. Terkait dengan itu, renovasi sarana sekolah, termasuk penyediaan perumahan untuk guru, perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kondisi kerja guru yang ditugaskan di daerah-daerah tersebut.

2. Ketidakhadiran guru di kelas adalah masalah serius yang perlu ditangani karena secara langsung mempengaruhi pembelajaran murid di sekolah. Perbaikan prasarana kemungkinan akan mengurangi ketidakhadiran guru di kelas karena mempermudah pengawasan ke sekolah, dan mempercepat waktu tempuh ke lembaga keuangan, kesehatan dan lainnya. Pemerintah dapat mempertimbangkan pembayaran elektronik gaji dan tunjangan guru guna mengurangi kebutuhan para guru untuk bepergian. Selain itu, berbagai cara untuk meningkatkan akuntabilitas guru perlu diuji efektivitasnya bersamaan dengan pemberian sanksi kepada guru dengan kinerja rendah.

3. Meningkatkan hasil belajar murid perlu dimulai dengan menyampaikan hasil belajar dapat dipahami oleh pemangku kepentingan pendidikan, melacak perkembangan dari waktu ke waktu dan membandingkan hasil di tingkat sekolah dengan hasil di tingkat kabupaten atau nasional. Kolaborasi antara guru dan orang tua untuk mendukung pembelajaran murid kemungkinan juga dapat meningkatkan aspirasi dan prospek karir yang lebih baik di kalangan murid.

4. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua akan tingkat ketidakhadiran guru di kelas yang tinggi dan hasil belajar yang rendah kemungkinan akan meningkatkan tuntutan mereka dalam peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini memerlukan penetapan standar layanan yang diharapkan dari guru dan diketahui oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Selain itu, peningkatan kesadaran akan peran dan partisipasi orang tua dalam mendukung pembelajaran anak sangat penting untuk meningkatkan keterlibatan mereka.

5. Mekanisme untuk menjadikan tunjangan guru lebih efektif dalam meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar murid perlu diidentifikasi dan diuji untuk implementasi oleh pemerintah. Sebagai contoh, jumlah tunjangan yang dibayarkan harus dibuat bersyarat berdasarkan kehadiran guru, kinerja guru, dan/atau sebagian kecil dari hasil belajar murid.

6. Kualifikasi dan keterampilan guru didaerah terpencil perlu ditingkatkan. Dalam jangka pendek, harus lebih banyak diberikan pelatihan pengembangan kapasitas dengan memprioritaskan guru di daerah terpencil atau dengan menetapkan persentase tertentu dari peserta pelatihan untuk guru di daerah terpencil. Dalam jangka panjang, harus lebih banyak guru yang lebih berkualitas dan lebih muda didistribusikan ke daerah-daerah terpencil dengan kesepakatan waktu penugasan, yang dapat meningkatkan poin kredit mereka menuju sertifikasi yang lebih cepat atau kualifikasi mereka untuk menjadi PNS.

Perbaikan prasarana juga akan memungkinkan guru untuk mempertimbangkan pendidikan tinggi, mengikuti pelatihan pengembangan kapasitas, atau mengambil kursus pembelajaran jarak jauh.

Bayangkan. Dalam survei sebelum pandemi ini saja sudah menunjukkan pendidikan dasar kita di daerah terpencil masih sangat menyedihkan. Krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dipastikan akan memperburuk nasib pendidikan daerah terpencil. Kita masih menghadapi masa depan yang suram. Apalagi jika pemerintah tidak benar-benar serius memperhatikan kemajuan pendidikan nasional.

 

KIKI LAYEN PUTU HK, DS, JP, AB, BD

 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju