MENGAPA GURU-GURU HEBAT KELUAR?
Ada seorang guru honorer baru yang meninggalkan profesi setelah dua tahun mengajar. Dia cerdas, antusias dan dicintai oleh kolega, siswa dan keluarganya.
Begini ia tuliskan nasibnya:
“Selama dua tahun tersebut, ada banyak sekali pengalaman suka dan duka yang telah dialami.
Sejujurnya, sekolah ini sangatlah nyaman bagiku.
Aku nyaman dengan para guru-guru di sini, mereka orang-orang yang baik dan lucu-lucu. Meskipun kita berbeda agama, tetapi toleransi mereka sangat luar biasa. Aku salut.
Aku nyaman dengan murid-muridku. Mereka sebenarnya adalah anak-anak yang luar biasa, penuh dengan kreativitas, cerdas dan dekat dengan guru-gurunya.
Namun, ada satu hal yang membuatku tak bisa bertahan disini.
Aku tinggal di Kota Pemalang namun harus bekerja di luar kota. Jarak tempuh perjalanan dari rumah ke sekolah sekitar 30 km atau hampir satu jam perjalanan dengan kecepatan standar.
Setiap hari aku harus laju (bolak balik). Paginya berangkat, lalu sorenya pulang.
Mungkin ini tak masalah apabila dilakukan hanya sehari atau dua hari. Tetapi jika dilakukan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun pastilah sangat melelahkan.
Kenapa tidak kos saja? Itu pertanyaan yang selalu dilontarkan oleh teman-temanku di sini.
Sebenarnya aku pengen ngekos saja di sini. Namun...
Jika dihitung-hitung antara pendapatan dan biaya hidup di kota ini, rasanya kok ngenes sekali. Pendapatanku tak lebih dari satu juta, tetapi biaya kost, makan, dan lain-lain hampir 2 juta.
Ya ampun, ngenes banget yah.
Oleh karena itu, terpaksa saya setiap hari harus laju, pulang pergi antar kota.
#Tak Tahan
Awalnya semua berjalan normal dan lancar-lancar saja.
Namun ada beberapa hal yang membuatku menyerah dengan situasi ini: Satu
Aku sering hampir mati kecelakaan di jalanan Pantura.
Mulai dari hampir keserempet bus, senggolan dengan pengendara lain, hampir ketabrak truk, hampir kejatuhan benda-benda yang dibawa oleh truk, dan kejadian-kejadian mengerikan lainnya..
Dua, Motorku sering rusak.
Setiap hari harus melewati jalanan rusak dengan lubang-lubang yang besar membuat perutku sakit dan motorku juga rusak, mulai dari lampu mati berkali-kali, rantai rusak body motor kendor, baut ilang.
Tentunya ini tidak murah. Kadang sekali rusak aku harus merogoh kocek separuh dari gajiku mengajar. Ngeness gaessss...
Tiga, Cuaca yang tak bersahabat.
Kalau musim hujan tiba, rasanya benar-benar memuakkan. Bisa dibayangkan jam 5 pagi sudah mandi dengan air dingin, pas mau berangkat harus hujan-hujanan selama satu jam. Akhirnya, tiba di sekolah dalam keadaan menggigil dan kotor penuh lumpur jalanan.
Empat
Masa depan yang tak jelas.
Dari semua hal tersebut, masalah keempat inilah yang paling tak bisa diterima. Aku bekerja sebagai guru honorer dengan upah kecil. Jika honorer maka sampai kapanpun ya tetap honorer, tak akan pernah dianggap menjadi guru tetap. Ini artinya masa depan ku amat suram sama seperti jutaan guru di negeri ini.
Akhirnya setelah berjuang selama dua tahun dengan semua masalah yang dihadapi, aku memutuskan untuk berhenti.
Bukan menyerah. Tetapi mencari peluang karir yang lebih baik dari saat ini.
Selamat tinggal dunia guru ...”
Begitu curahan hatinya, Menyedihkan. Ngeness…
Harus diakui pendidikan kita saat ini sama sekali belum menjamin guru menjadi profesi yang lebih berkelanjutan dan manusiawi. Demi siswa dan guru, kita membutuhkan sekolah untuk menjadi lebih manusiawi. Bagaimana para pemimpin sekolah dan otoritas pendidikan bekerja untuk mewujudkan hal ini?
Penelitian memberitahu kita bahwa membina hubungan yang kuat dan memperhatikan suara serta pilihan kepada siswa serta menyediakan pembelajaran yang aktif diperlukan untuk melibatkan dan memotivasi mereka. Tetapi bukankah ini juga penting bagi guru? Kita tahu bahwa siswa merasakan tekanan yang dibawa guru ke pekerjaan mereka. Oleh karena itu, dengan melindungi profesionalisme dan kesejahteraan guru pada akhirnya akan menguntungkan siswa juga.
Gaji rendah, peningkatan tanggung jawab dan beban administrasi tinggi menjadi beberapa alasan mengapa lebih banyak guru berbakat meninggalkan profesi daripada sebelumnya.
Sistem Tidak Mendukung
Menjadi guru baru adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Namun tanpa sistem pendukung yang tepat, sulit untuk meyakinkan guru-guru baru itu bahwa mereka sedang menjalani profesi yang mulia dan dihargai. Yang bahkan dalam konstitusi kita (Pembukaan UUD 1945) dikategorikan sebagai tugas negara dan pemerintah, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Masalah yang dihadapi para guru muda dan guru honorer kita adalah ketidaksiapan penyelenggara pendidikan (pusat dan daerah), kondisi kerja yang menantang dan guru-guru itu dibebankan target yang tidak realistis di tahun pertama mengajar. Problema ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat sebuah penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 19 persen sampai 35 persen guru-guru baru memilih mundur dari pekerjaan mereka. Apa penyebabnya? Banyak.
Salah satunya karena tekanan atau stres yang luar biasa. Stres emosional yang dihadapi para guru tampaknya berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Bahkan, survei nasional menunjukkan bahwa 58 persen guru kelas sekolah-sekolah di sana merasa kesehatan mental mereka sebagai “tidak baik.” Survei lain menegaskan bahwa hampir dua pertiga guru merasa banyak tekanan dalam pekerjaan mereka. Tingkat stres guru dua kali lipat dibanding yang dialami tenaga kerja umum. Bekerja dalam kondisi seperti itu tidak dapat dipertahankan. Pendidik tidak dapat melakukan yang terbaik untuk siswa ketika mereka berjuang tekanan mental dan fisik di lingkungan kerjanya.
Guru-guru juga merasa tidak lagi dihormati dan dihargai. Banyak guru merasakan efek negatif dari apa yang mereka anggap sikap negatif tadi. Sebuah laporan baru-baru ini dari Penn State University dan Yayasan non-laba Robert Wood Johnson Foundation menyatakan banyak guru yang merasa direndahkan saat mengajar. Sikap meremehkan itu dirasakan berasal dari siswa, orang tua dan pengelola pendidikan (pusat dan daerah). Tampaknya tidak ada lagi rasa hormat kuno kepada guru hari ini.
Berkurangnya guru berarti akan makin banyak siswa tidak mendapat layanan pendidikan. Akibatnya kelas makin besar jumlah siswanya. Kelas yang lebih besar lebih sulit dikendalikan. Kehilangan kendali membuat guru mengalami banyak tekanan. Dengan waktu mengajar yang lebih sedikit, siswa membuat lebih sedikit kemajuan. Dan itu bisa menjadi bencana bagi guru. Perlahan dan pasti, hal itu pada akhir- nya akan menjadi bencana bagi pendidikan nasional.
Mengapa Mereka Berhenti?
Menjadi guru memang menantang. Tantangan yang terasa makin berat belakangan ini. Kenyataan pahitnya adalah banyak guru meninggalkan lembaga pendidikan setiap tahun. Bergaji kecil dan stabil, jam kerja panjang dan menyiapkan materi ajar di waktu-waktu istirahat, meskipun demikian guru harus tetap mengajar.
Seringkali guru-guru yang baik memutuskan meninggalkan pekerjaannya setelah hanya beberapa tahun mengajar. Sebuah studi menyatakan hampir 20 persen pengajar bersertifikat dari sekolah negeri dan swasta mulai mengubah pikiran dan pengabdian mereka untuk mengajar pada tahun kelima karir mereka. Jumlah pastinya masih harus ditentukan. Angka ini bisa lebih tinggi. Para guru muda yang berhenti itu mengaku muak dengan profesi ini.
Berikut adalah lima alasan mengapa guru-guru muda meninggalkan profesi mereka:
1)Pendidikan kita tidak seidealis sistemnya.
Banyak calon guru yang bermimpi untuk mengajar. Alumni idealis ilmu kependidikan (pedagogik) ingin mengubah dunia dan menabur benih yang baik dan abadi dalam jiwa siswa. Setelah mendapatkan gelar mereka akan menemukan kenyataan pahit. Guru-guru baru segera mengetahui bahwa tidak setiap siswa ingin dididik. Kemampuan dan moral seorang siswa adalah dua hal yang berbeda, dan mereka sering membutuhkan pendekatan individu dan rencana khusus.
2) Mengajar membutuhkan banyak tanggung jawab.
Sebenarnya, mengajar adalah salah satu pekerjaan tersulit di dunia. Sistem pendidikan kita membutuhkan terlalu banyak ujian dan esai formal yang harus dibangun oleh guru. Banyak karya siswa harus direvisi dan dianalisis setiap hari. Panggilan telepon ke orang tua diperlukan dan mereka tidak selalu membawa kesenangan. Mentor yang berpengalaman dapat membantu guru baru dengan bantuan yang tak ternilai. Tetapi sayangnya, guru sekolah baru sering dibiarkan sendiri untuk menghadapi segala urusan ini dan sendirian mencari solusi terbaik.
3) Pengabdian tinggi, gaji rendah.
Salah satu alasan paling penting bagi guru-guru muda berhenti dari profesi mereka adalah karena gaji yang tidak kompetitif. Guru honorer yang paling parah. Rata-rata tiap jam mengajar guru honorer hanya dihargai Rp15.000 sampai Rp30.000.
Karena ini banyak guru tetap dan guru honorer mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apakah guru memang digaji rendah? Banyak yang berpikir begitu. Apakah mereka kurang berharga dibanding insinyur atau manajer penjualan? Jelas tidak. Faktor ekonomi dan ketersediaan anggaran pendidikan daerah dan pusat memang menjadi masalah dalam soal ini. Namun yang lebih utama adalah seberapa besar komitmen pemimpin daerah dan pusat. Jika komitmen mereka besar dan konkret, pasti ada cara untuk mengatasi masalah ini.
4) Guru tidak diperhatikan dan tidak dihargai.
Sulit untuk menemukan profesi lain yang sering disalahkan, diremehkan dan dikritik sebanyak pengajaran sekolah. Orang tua, kepala sekolah, pejabat pemerintah dan politisi sering menyerang guru dan mempertanyakan kualifikasi mereka. Kunjungan kelas yang mengejutkan oleh para pejabat bisa membuat takut. Para guru bekerja keras dalam lingkungan yang penuh tekanan dengan tanggung jawab yang sangat besar, dan itu sepertinya tidak pernah cukup. Mereka terus pergi mengajar sampai tanpa disadari datang kurikulum baru dan segera mengadopsi kebijakan baru yang secara langsung menjadi perhatian mereka. Ketika seorang guru merencanakan pelajaran yang menarik, beberapa siswa menolak untuk bekerja sama dan bahkan menghina mereka. Orang tua jarang mengajar anak-anak mereka untuk menghormati guru mereka.
Untuk guru-guru muda situasi ini menjadi tantangan tersendiri. Dibutuhkan kebesaran jiwa, kematangan mental dan kesiapan untuk menghadapi situasi yang berubah cepat ini. Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik sangat dibutuhkan pengajar-pengajar muda.
5) Tumpukan pekerjaan administrasi.
Dokumen yang melimpah adalah alasan lain mengapa para guru sangat lelah. Banyak orang yakin guru bekerja maksimal 8 jam sehari. Namun apa yang bisa mereka lakukan setelah mengajar? Setelah pelajaran, guru perlu memeriksa tugas siswa, membuat jadwal kelas dan mempersiapkan pelajaran hari berikutnya. Guru yang baik bercita-cita untuk tidak hanya menghabiskan waktu bersama siswa di kelas, tetapi benar-benar mengajari mereka sesuatu. Hal itu juga mencakup komunikasi dengan orang tua dan laporan perilaku siswa-siswanya. Ini semua membutuhkan konsentrasi yang mendalam, yang kemudian dilanjutkan dengan evaluasi dan rekomendasi guru.
Terlepas dari semua kesulitan itu, banyak guru yang baik menyukai pekerjaan mereka. Mereka mungkin mengeluh tentang hal itu atau marah, tetapi setiap pagi mereka bangun untuk bergegas kembali ke siswa mereka. Kita semua harus menemukan cara untuk mendorong dan mendukung lebih banyak profesional pengajaran. Dunia tanpa guru tidak memiliki masa depan.
Tanggung Jawab Otoritas Pendidikan
Lalu apa yang harus dilakukan pengelola pendidikan agar guru-guru tidak mundur dari profesi mereka? Pengelola sekolah di sini termasuk kepala sekolah, pejabat pendidikan daerah dan pusat, pengurus yayasan tempat guru mengajar dan para wakil rakyat.
Berikut beberapa langkah yang harus diperhatikan mereka, para pengelola pendidikan.
Lindungi kebutuhan dasar guru:
Ingat Maslow. Bagaimana guru dapat berpikir tentang pedagogi yang mendalam dan kuat jika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi? Para pemimpin daerah dan pusat harus dapat memenuhi standar gaji guru-guru di daerahnya masing-masing. Kemudian pastikan membangun sekolah yang aman secara emosional dan fisik dengan memastikan dasar-dasarnya tercakup. Jadwalkan waktu bagi para guru untuk menggunakan kamar mandi, dan tunjuk setidaknya satu dari kamar mandi itu hanya untuk orang dewasa dan netral gender. Pastikan ruang guru memiliki kenyamanan seperti kopi panas dan satu atau dua kursi yang nyaman.
Membangun rasa memiliki:
Dalam lingkungan sekolah yang mendukung dan kuat, para guru merasa terhubung satu sama lain dan bekerja sebagai sebuah tim. Kita tahu bahwa ketika guru berkolaborasi, siswa mendapat manfaat. Para pemimpin pendidikan dapat membangun rasa memiliki dalam berbagai cara.
Bangun budaya suportif:
Kepala sekolah, pelatih dan pemimpin sekolah: Anda berada dalam bisnis meningkatkan moral dalam profesi yang kian tidak dihargai. Anda seharusnya bisa mengatasi kebutuhan mental, emosional dan profesional guru. Anda dapat melakukan ini dengan menunjukkan bahwa Anda mendengar dan bertindak atas umpan balik guru. Ketika Anda melihat guru Anda membutuhkan dukungan, istirahat atau dorongan, berikan itu.
Hal ini juga berlaku untuk guru: carilah cara untuk mendukung kolega Anda. Baik dukungan dalam masalah kebutuhan mendasar, juga dukungan pada peningkatan kinerja-kerja pedagogik di sekolah.
Membangun kepercayaan:
Budaya sekolah menentukan tingkat kepercayaan yang tinggi antara guru, antara guru dan siswa dan antara guru dan administrator. Mereka menghabiskan waktu berhubungan satu sama lain setiap hari, selalu berkomunikasi dengan aktif tanpa sekat-sekat. Para pemimpin sekolah dapat membangun kepercayaan bahwa pendidikan yang mereka jalani akan membawa pada kemaslahatan hidup bersama secara konkret. Akan sangat positif jika para pendidik itu diberi kebebasan untuk memilih fokus pengembangan profesional mereka dan memilih materi pendidikan mereka.
Dalam profesi yang menantang ini, lingkungan yang manusiawi memungkinkan guru untuk tumbuh secara profesional. Sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan utama mengajar siswa dengan baik sejak awal.
BAMBANG PRASETYO
What's Your Reaction?