Guru Honorer, The Real Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Sepuluh November merupakan hari yang diperingati masyarakat Indonesia sebagai hari pahlawan. Ucapan, “selamat hari pahlawan” memenuhi dinding di berbagai media sosial. Gambar-gambar pahlawan terpampang dengan gagah, dari foto Ir. Soekarno, Moh. Hatta sampai Jendral Soederman. Merekalah para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tentunya masih banyak lagi pahlawan yang ikut berjuang merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pahlawan digambarkan dalam kebanyakan cerita, merupakan seseorang yang memperjuangkan hak-hak dan hajat orang banyak yang ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Pahlawan identik dengan peperangan, pertarungan, memanggul senjata di medan perang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterangkan bahwa penjabaran arti kata pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani.
Pahlawan tanpa tanda jasa, merupakan istilah yang sangat populer di Indonesia. Istilah itu dilekatkan kepada tenaga pendidik di Indonesia atau sering disebut, “Guru”. Jika dilihat dari pengertian yang dijabarkan KBBI mengenai pengertian pahlawan, guru sangat bisa dikategorikan sebagai pahlawan. Banyak dari tenaga pendidik di Indonesia yang berjuang demi menyampaikan kebenaran untuk mencerdaskan anak bangsa. Dengan gagah berani menantang kehidupan dengan mengorbankan kesejahteraan hidupnya demi kesejahteraan hidup orang lain. Hanya saja guru tidak menenteng senjata dan malah kadang tidak dikenang. Yah kita banyak mendengar cerita dari tenaga pendidik di pelosok-pelosok negeri, mengenai guru-guru dengan gaji kecil dan fasilitas yang sangat tidak layak, tetapi masih semangat untuk menyampaikan kebenaran, mengajarkan ilmu-ilmu yang kelak diharapkan bisa menciptakan kesejahteraan hidup bagi banyak orang.
Media-media banyak mengulas mengenai nasib guru honorer yang berada di pelosok-pelosok desa dan kesejahteraannya di bawah rata-rata. Perjuangan mereka bervariasi, dari jarak yang jauh dari tempat tinggal ke tempat mengajar, akses jalan yang sulit, fasilitas yang kurang mendukung dan gaji yang kecil menjadi tantangan para guru di pelosok. Dikutip dari Kompas.com dalam artikel yang berjudul “Cerita Para Guru Honorer, Dilema antara Gaji Rendah dan Pengabdian Tanpa Kepastian,” yang diposting pada 22/02/2021, menceritakan perjuangan seorang guru honorer di daerah-daerah.
Ruth, nama pahlawan tanpa tanda jasa itu. Ia mengajar sebagai guru honorer yang mendapat gaji Rp.1.000.000/ bulan setelah berjuang 12 tahun lamanya. Awalnya Ruth hanya menerima gaji Rp.150.000/ bulan. Wanita lulusan sekolah pendidikan itu memutuskan untuk tetap menjadi guru karena sudah terlanjur sayang dan akrab dengan murid-muridnya. Sungguh pahlawan tanpa tanda jasa, bukan?
Bergeser dari Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Bogor yang tak jauh dari istana negara. Dewi, merupakan guru honorer di SDN yang digaji dari dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Wanita 35 tahun itu sudah mengajar selama 15 tahun dari 2006. Ia berjuang 11 tahun lamanya baru mendapat gaji Rp.1.500.000. Awal menjadi tenaga pendidik ia digaji Rp.50.000/ bulan.
Melihat dari kisah guru-guru yang pantang menyerah di atas, perjuangan untuk mengajar, mencerdaskan anak-anak bangsa demi masa depannya dengan mengorbankan kesejahteraan hidupnya sendiri. Mereka dengan tegar dan gagah berani menantang kehidupan, dengan upah yang jauh dari kata cukup mereka tetap semangat mengabdi demi mencerdaskan anak-anak didiknya untuk cerahnya masa depan anak-anak bangsa. Sungguh sangat pantas jika gelar pahlawan tanpa tanda jasa disematkan kepada guru-guru tangguh ini.
Sedih memang ketika melihat realitas kehidupan para guru di negeri ini. Semoga pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa ini diberi kesehatan dan rizki yang melimpah. Terima kasih untuk para guru-guru, guru saya dan guru kita semua.
Salam hormat dari kita, yang telah kau hantarkan hingga sampai saat ini. Sangat besar jasamu bagi kita dan bagi negeri ini. Sehat selalu.
What's Your Reaction?