“Biarkan Sisa Umurku Untuk Menjadi Guru”
Nama saya Mujiman. Sekarang saya menjadi guru di SD Negeri Barengan, Teras, Boyolali, Jawa Tengah.
Saya sudah bertekad akan menjadi guru di sisa umur saya. Slogan atau cita-cita ini sekarang sangat kuat di hati dan benak pikiranku. Ini muncul karena rasa prihatinku terhadap anak-anak dan remaja sekarang.
Sekarang ini banyak anak dan remaja yang tidak punya sopan santun atau unggah-unggah. Ketika ada orang tua atau orang yang umurnya lebih tua sedang duduk, anak atau remaja berjalan di di depannya tanpa permisi lebih dulu. Nylonong begitu saja. Tanpa menundukkan badan.
Sementara anak-anak atau remaja di Jawa, banyak yang tidak mengerti bahasa Jawa. Padahal bahasa Jawa memiliki tataran. Jika diterapkan sangat bagus, karena ada tatanan bagaimana cara anak atau remaja menghormati seseorang yang umurnya lebih tua.
Yang menyedihkan lagi, kepada orang tua sendiri, ada anak atau remaja kurang menghormati. Berkata dengan nada kasar. Kalau di Jawa tanpa unggah-ungguh. Semua dianggap sama.
Puncak keprihatinanku makin menjadi karena belum lama ini ada murid yang berani menantang guru. Ini sungguh sangat keterlaluan. Karena guru yang dengan tulus, ikhlas mengajar dan mendidik malah diperlakukan kasar seperti itu.
Padahal apa yang dilakukan guru terhadap muridnya semata-mata hanya untuk mendidik. Agar murid pandai dan pintar. Bukan hanya pintar dalam menuntut ilmu, tetapi juga pandai, bersopan santun dan berakhlak mulia.
jika ada guru yang bersikap keras terhadap murid. Itu juga dalam rangka mendidik. Sama sekali tidak ada niat untuk menyakiti atau mencelakakan murid.
Hal yang menguatkan diriku untuk menjadi guru meski umurku sudah tidak muda lagi, sudah di atas kepala 5, karena aku pernah mengalami kecelakaan hebat.
Pada tahun 2004 Aku bersama istriku, Sriwahyuni, ditabrak bus jurusan Semarang-Solo. Kecelakaan itu terjadi di jalan raya Semarang-Solo, tepatnya di Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Saat itu aku habis membuat laporan keuangan, karena waktu itu aku menjadi ketua RT di kampungku di Dusun Jetak, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Lalu bersama istri periksa kesehatan di rumah salah seorang dokter di Mojosongo, Boyolali.
Sehabis periksa, aku gandeng istriku berjalan kaki menyeberang jalan ke arah selatan. Tujuannya untuk mencari angkutan ke kota Boyolali.
Di luar dugaan, dari arah Semarang ada bus jurusan Semarang-Solo melaju dengan kecepatan tinggi. Aku bersama istri langsung ditabrak.
Aku terpental beberapa meter dari kejadian semula. Sementara istriku tergilas roda bus. Saat itu aku langsung tidak sadar. Karena mengalami luka parah.
Sedang istriku, kata tetangga dan warga yang memberi pertolongan, meninggal dunia di lokasi kejadian. Sekujur tubuhnya luka parah.
Oleh polisi dan warga aku langsung dilarikan ke Rumah Sakit Pandan Aran Boyolali. Begitu juga jenazah istriku.
Setelah diotopsi, jenazah istriku diambil keluargaku untuk dimakamkan. Sedang aku masih terbaring di rumah sakit dan belum sadar. Saat itu 2 anakku masih kecil-kecil.
Karena lukaku parah, hampir satu minggu aku tak sadarkan diri.
Selama tidak sadar, aku merasa berjalan-jalan di suatu tempat yang sebelumnya belum pernah aku jumpai.
Semua serba hijau dan langitnya biru. Anehnya selama berjalan-jalan aku tidak bertemu dengan orang laki-laki. Yang kujumpai hanya wanita-wanita cantik dengan baju serba putih.
Mungkin inilah yang membuat aku betah atau tidak segera sadarkan diri. Padahal saat itu aku merasa terus berjalan.
Puncak setelah sekitar satu minggu tidak sadar, tiba-tiba aku bertemu dengan bapakku. Padahal beliau sudah lama meninggal.
Kepada aku, bapakku minta agar kembali. Alasannya aku belum saatnya berada di alam yang serba indah dan damai itu.
Setelah itu tiba-tiba aku sadar. Namun tubuhku masih belum bisa digerakkan karena penuh luka. Tetapi kedua mataku sudah bisa membuka. Nafasku pun mulai stabil dan teratur.
Satu minggu kemudian, setelah kondisi kesehatanku berangsur membaik diizinkan kembali pulang. Sampai di rumah aku seperti orang binggung. Karena kondisi rumahku tidak seperti biasa. Sepi dan celotehan istri dan anak-anakku tidak ada.
Malah yang kudapati dua anakku kelihatan sedih dan pilu. Keduanya langsung memeluknya ketiga aku masuk rumah. Suasana menjadi hening.
Saudara dan tetangga yang melihat pertemuanku dengan anak-anakku hanya bisa diam. Bahkan sebagian tampak meneteskan air mata, tanda sedih.
Dari sini, aku merasakan ada sesuatu yang baru saja menimpa keluargaku. Niatku bertanya kepada saudara terasa berat.
Setelah agak tenang, aku didekati saudaraku. Dengan nada lirih dan pelan-pelan, aku diberitahu jika istriku sudah meninggal dunia dalam kecelakaan bersama aku.
Mendengar itu, aku merasa dunia menjadi gelap. Saat itu aku pingsan. Sehingga harus mendapat pertolongan dari saudara dan tetangga.
Beberapa saat kemudian aku sadar. Namun otakku masih sangat sulit atau berat untuk diajak berpikir.
Kondisi ini berlangsung hingga beberapa pekan. Praktis saat itu aku hanya menganggur. Tidak bekerja. Padahal aku masih berstatus sebagai karyawan sebuah perusahaan pengolahan kayu di Kabupaten Karanganyar.
Di perusahaan pengolah kayu inipun aku menjadi ketua serikat pekerja.
Badan dan pikiranku saat itu lemas karena terus kepikiran istriku yang meninggal. Sampai akhirnya aku memutuskan keluar dari perusahaan. Padahal saat itu aku tidak memiliki pekerjaan lain.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama 2 orang anakku, hanya mengandalkan sisa tabungan.
Karena tabungan terus menipis, hartaku, seperti sepeda motor dan meja kursi, aku jual.
Karena terus terdesak kebutuhan, akhirnya otak dan pikiranku mulai bangkit. Saat itu aku bertekad menjadi buruh tani. Dengan alasan risiko terjadi kecelakaan sangat kecil. Terus terang saja, saat itu aku masih trauma. Melihat bus yang melaju di jalan raya saja aku masih ketakutan.
Dengan uang tabungan yang masih tersisa aku membeli traktor untuk membajak sawah. Saat itu aku bertekad menjadi buruh tani yang baik, agar bisa mencukupi kebutuhan aku sendiri bersama 2 anakku.
Meski sebelumnya aku belum pernah menjadi operator traktor, namun aku bisa mengoperasikan alat untuk mengolah sawah ini dengan baik. Para petani di kampung pun mulai menggunakan jasaku untuk mengolah sawah.
Dari sinilah hidupku mulai tertata lagi. Meski penghasilan dari buruh tani hanya cukup untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak.
Harapan untuk hidup yang lebih baik saat itu mulai nampak. Sehingga pada tahun 2010, aku mulai memberanikan diri meminang seorang gadis, pekerja perusahaan peralatan sekolah dekat kampungku.
Meski demikian, bayang-bayang istriku yang meninggal kadang-kadang muncul. Namun tidak menyurutkan semangat hidupku.
Aku itu setiap malam itu melaksanakan sholat tahajud. Sholat ini aku kerjakan setiap malam.
Entah apa penyebabnya, di suatu malam ketika melaksanakan sholat tahajud tiba-tiba aku mendengar “kowe dadi guru (kamu jadi guru)”.
Suara ini bukan hanya sekali aku dengar ketika melaksanakan sholat tahajud. Tapi berulang kali. Dari sini aku berkeyakinan jika kelak aku menjadi guru lagi.
Sebenarnya aku ini seorang guru. Sebelum bekerja di sebuah perusahaan pengolah kayu di Kabupaten Karanganyar, aku menjadi guru sebuah SMP Swasta di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyoloali.
Sebelumnya aku kuliah Diploma 2, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP, sekarang menjadi Universitas Negeri) Semarang. Dan lulus tahun 1988.
Malah sebelumnya aku sekolah di Sekolah Pendidikan Guru Negeri Boyolali.
Puncaknya pada awal bulan Januari lalu ada seorang Kepala Sekolah Dasar yang mencari aku. Padahal sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan seorang kepala sekolah ini.
Setelah berbasa-basi, kepala sekolah ini meminta aku agar menjadi guru di SD Negeri Barengan, Kecamatan Teras.
Mendengar tawaran ini aku sepertinya tidak percaya. Karena umurku sudah tidak muda lagi. Sudah di atas kepala 5. Untuk itu, kepala sekolah ini aku sarankan agar mencari orang lain, yang lebih muda untuk mnjadi guru di sekolahnya.
Kepada kepala sekolah ini tawaran untuk menjadi guru tidak langsung aku terima. Aku minta waktu satu minggu mempertimbangkan. Karena aku harus minta persetujuan kepada istri dan anak-anakku.
Ketika aku mintai pertimbangan, ternyata istri dan anak-anakku memberi izin untuk menjadi guru lagi. Hanya selang beberapa hari kemudian, aku menemui kepala sekolah yang memberi tawaran pekerjaan aku.
Kepada kepala sekolah, aku ungkapkan jika tawaran menjadi guru aku ambil. Meski dengan status guru honorer.
Meski sudah puluhan tahun tidak mengajar, di depan kelas aku masih bisa mengajar dengan baik. Sehingga oleh kepala sekolah aku diminta menjadi wali kelas 3.
Meski sudah menjadi guru, aku tetap menjadi buruh tani. Apalagi bukan karena statusku sebagai guru honorer. Meski demikian aku tetap ikhlas menjadi guru. Karena guru adalah panggilan jiwaku.
(seperti dituturkan kepada Sigit Purwita, kontributor SahabatGuru)
What's Your Reaction?