Guru Harus Dapat Melintasi Batas Tugas Mengajar dan Mendidik
Wawancara (bagian pertama) Dr. Unifah Rosyidi, MPd, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI SahabatGuru - Bagi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), gawat darurat guru bukan persoalan baru. Problem kekurangan guru, khususnya di tingkat sekolah dasar (SD) dan SMK, memang telah berlangsung sejak lebih dari lima tahun terakhir. Bagi asosiasi profesi guru terbesar di negeri ini, persoalan guru adalah problem kualitas, mindset, kemampuan belajar, dan kekurangan guru. Masing-masing masalah tersebut tidak berdiri sendiri. Salah satu problem yang menghambat penyelesaian persoalan-persoaan tersebut adalah aturan dan birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. “Kami seperti menghadapi tembok yang sulit sekali ditembus,” kata Unifah Rosyidi, Ketua Umum PB PGRI. “Kami memang harus mengubah mindset tentang profesi guru ini, bukan hanya pada para guru sendiri, tapi juga para birokrat pengelola pendidikan dari pusat hingga ke daerah,” ucap Unifah menambahkan. Seperti apa langkah-langkah PGRI dalam membangun mindset baru tadi, mendobrak kekakuan birokrasi, implementasi program perubahan dari dalam tubuh guru sendiri, dan upaya-upaya untuk mengembalikan kedaulatan guru? Berikut ini wawancara Agung Y. Achmad dari SahabatGuru dengan Unifah di Jakarta, beberapa waktu lalu. Semua daerah kini berteriak kekurangan guru. Sementara itu belum ada pengangkatan tenaga pendidik sambil menunggu penerimaan CPNS. Bagaimana PGRI membaca masalah ini? Anehnya, Kemendikbud dan Kemenpan RB masih mengatakan kita kelebihan guru. Klaim tersebut sesungguhnya merupakan jumlah guru PNS ditambah guru honorer. Pada saat ini, sesuai dapodik (data pokok pendidikan Kemendikbud) tercatat sebanyak 3.102.315 guru. Dari jumlah itu, ada 1.642.401 guru berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil, red), dan sebanyak 1.459.917 adalah guru honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT). Artinya, hampir separuh (48,66%) jumlah guru pada saat ini adalah honorer/GTT. Persoalan kekurangan guru kini pada level gawat darurat guru. Hampir selama 10 tahun tidak terjadi pengangkatan guru. Guru-guru lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, red) yang diangkat pada 1970-an di ribuan SD kini hampir tidak ada lagi. Kewajiban setiap SD untuk memiliki sembilan orang guru kini hanya dapat dipenuhi rata-rata oleh tiga guru. Selebihnya adalah guru honorer. Tapi, sedihnya, kesejahteraan mereka tidak diperhatikan. Seandaianya mereka tidak mau mengajar, atau tanpa bantuan mereka, sekolah kita niscaya kolaps. Nah, bagaimana mungkin Kemendikbud dan Kemenpan RB dapat mengatakan kita masih kelebihan guru, dan meletakkan persoalan ini hanya pada distribusinya? Itu cara pandang masa lalu berdasarkan riset sebuah lembaga internasional pada 10 tahun lalu yang sudah tidak lagi relevan. Itu misleading. Saya selalu bilang, ayo kita sama-sama turun ke daerah. Kami ini mitra strategis pemerintah. Tapi jika ada hal-hal mendasar untuk kepentingan bangsa, ya kami bersuara, sekaligus kita cari penyelesaian bersama. Apakah sertifikasi profesi guru tidak mengatasi masalah ini? Sertifikasi guru sering dijadikan ‘alat tembak’ seolah guru sudah mendapatkan tunjangan yang baik kok mutu tidak berubah. Kami menerima kritik membangun tersebut, karena sejatinya guru memang harus terus belajar. Tetapi jangan lupa, bahwa mutu tidak bisa berdiri sendiri. Saat ini, penerima tunjangan profesi belum mencapai 60% dari jumlah guru PNS dan guru tetap yayasan. Bahkan jumlahnya terus menurun karena banyak yang pensiun. Sudah begitu, aturan sertifikasi telah berubah, yakni guru dalam jabatan harus membayar sendiri biaya sertifikasi dan sebagian ‘disubsidi’ Kementerian. Sebuah ironi penganggaran dalam Peraturan Pemerintah tentang Guru. Belum lagi guru mengahadapi beragam rupa tekanan riil. Ini yang masyarakat harus tahu. Misalnya, syarat pencairan tunjangan yang merepotkan, persyaratanya amat rumit dan berubah-ubah tiap tahun, keharusan mengikuti uji kompetensi, dua hari tidak masuk tidak dibayar, harus masuk SIM PKB dan lain-lain, bahkan guru bahasa asing dan guru TIK tidak dibayar tunjangan profesinya meskipun sudah mengajar 24 jam dengan alasan sebagai dampak dari kurikulum 2013. Bandingkan dengan syarat tunjangan kinerja PNS yang relatif sederhana aturannya dan tidak pernah dipersoalkan. Sistem ini juga sangat berbeda dengan tunjangan profesi untuk dosen yang dibayarkan dengan cara sederhana, jelas dan konsisten. Mengapa aturannya berbeda antara guru dan dosen padahal udang-undangnya sama? Di mana posisi PGRI dalam persoalan ini? Kita sedang mendorong perubahan mindset dan peningkatan kemampuan profesional guru. Bekerja sama dengan berbagai pihak, utamanya dengan PT. Telkom, misalnya, kami melatih ratusan ribu guru hingga ke daerah 3-T. PGRI di semua tingkatan berperan sebagai learing centre bagi para guru. Beberapa model pelatihan jarak jauh juga telah kami kembangkan untuk membantu guru yang mengalami selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan profesi. Ngomong-ngomong soal mindset guru ini, bukan hanya guru yang harus berubah, tetapi juga seluruh birokrat pendidikan dari atas hingga ke level terdepan juga harus ikut berubah. Seperti apa mindset yang Anda maksud? Sederhana saja. Berubah mindset itu berarti tidak lagi melihat guru sebagai objek. Berubah mindset itu artinya tidak mempermainkan persoalan-persoalan guru dengan data-data yang tidak akurat. Berubah mindset itu adalah tidak lagi saling melempar tanggung jawab persoalan guru oleh pusat ke daerah, lalu dibalikin lagi oleh daerah ke pusat. Berubah mindset itu tidak lagi asyik mengotak atik aturan untuk mempersulit hak guru. Berubah itu menatap ke depan bahwa tugas melayani guru itu penting untuk kebaikan bangsa. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan ini? Pusat atau daerah? Semua pihak pengelola guru: Kemdikbud, Kemenag, Kemenpan RB, BKN/BKN regional dan daerah berperan dengan fungsinya masing-masing. Tidak saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Khusus untuk pemenuhan kekurangan guru, dapat dibuat analisis kebutuhan guru dari daerah ke atas, serta bagaimana pemetaannya. Kami menyadari keterbatasan kemampuan negara untuk rekrutmen guru baru, tetapi selalu ada cara-cara bersama untuk mengisi kebutuhan guru secara bertanggung jawab. Seperti apa usulan Anda? Sebenarnya Undang-Undang ASN (Aparatur Sipil Negara-red) telah mengatur hal di atas dengan baik. Cara sederhana itu misalnya menaikan anggaran BOS dari 15% untuk membayar honor GTT. Guru sangat memahami kondisi saat ini, yang penting ada kepastian dan keberlanjutan hak mereka ketika harus mengajar full time. Jadi, semua pihak punya peranan. Persoalannya, mau nggak, mereka mengubah mindset tentang tata kelola guru ini? Seberapa dalam relasi PGRI dan guru selama ini? Saya memahami betul kebutuhan para guru, kesulitan dan perasaan mereka. Untuk itu, saya membuka diri sehingga mereka dapat menghubungi saya kapan saja. Apa yang mereka rasakan secara umum sama. Apa problem umum guru? Bahwa mereka berada dalam kesulitan aturan yang luar biasa rumit di dalam implementasinya. Betapa tidak, mereka harus menyelesaikan persyaratan kenaikan pangkat yang rumit, proses tunjangan profesi yang berbelit-belit dan berubah-ubah, nilai UKG harus delapan, impassing bagi guru swasta yang tertunda-tunda, dan seterusnya. Semua kebijakan ini tidak membumi. Kok mereka (para pengambil kebijakan, red) seperti tidak pernah dididik guru saja. Penyakit kita itu ‘terlalu birokratis’. Sebagai contoh, adik saya sendiri, guru bahasa asing, sudah sertifikasi, dan mengajar full 24 jam. Tapi hampir setahun ini tunjangannya tidak dibayarkan dengan beragam alasan. walaupun ia sudah bolak balik konsultasi. Sedih saya! Masa hari gene gak berubah? Saya merasa seperti ada tembok yang sulit sekali ditembus. Sementara semua orang meminta guru untuk profesional, terus belajar, sabar, ikhlas, dan sebagainya. Para guru kan punya kebutuhan, memiliki tanggung jawab kepada keluarga. Jika soal ini tidak selesai sulit rasanya harapan publik yang tinggi terhadap guru dapat dipenuhi. Coba bayangkan, siswa-siswi kita dididik guru-guru honorer dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, mereka hampir tidak pernah dilatih kemampuan profesional, tidak menerima hak-hak profesinoal secara wajar. Bagaimana mungkin kita mau melahirkan pendidikan yang bermutu? Saya meminta maaf apabila banyak guru yang belum memenuhi harapan ini.
What's Your Reaction?