Kuncinya Kreativitas dan Imajinasi
MENGAPA Finlandia, negeri liliput di Eropa itu, selalu berada di puncak peringkat dunia?
Itu karena sistem pendidikannya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip: berkualitas, efisien, berkeadilan, berlangsung sepanjang hayat. Penyelenggaraannya bersifat santai dan fleksibel. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu untuk seluruh warga negara secara gratis. Para siswa tidak dibebani terlalu banyak mata pelajaran, jam belajar di sekolah sedikit (sesuai dengan kebutuhan siswa, dari dua sampai delapan jam sehari), dan mereka dibolehkan berbahagia belajar menekuni bidang yang diminatinya. Kuncinya adalah: guru yang bermutu-bermartabat, dan sistem pengajarannya efektif.
Korea Selatan juga melakukan reformasi pendidikan sejak awal 1990-an. Berbeda dengan Finlandia, sistem pendidikan di Korea Selatan berlangsung lebih tegang dan rigid, dengan berbagai tes dan hafalan. Namun, seperti di Finlandia, Korea Selatan juga tanpa henti meningkatkan kualitas dan harkat para gurunya, serta menekankan bahwa semua langkah di bidang pendidikan memiliki nilai dan misi moral yang luhur.
Tiga tahap
Ada tiga tahap yang ditetapkan pemerintah Korea Selatan dalam strategi pembangunan sumber daya manusianya. Untuk mendukung tekad pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, dengan anggaran negara terbesar dialokasikan untuk jenjang SD dan SMP (86 persen), pada tahap pertama (tahun 1960-an), sekolah-sekolah diprogram menciptakan tenaga buruh kasar (lulusan SD) untuk kebutuhan industri padat karya dan manufaktur. Tahap kedua (tahun 1970-1980), seiring dengan kemajuan pesat ekonominya, sekolah-sekolah mempersiapkan tenaga kerja bagi industri berat dan kimia yang padat modal (lulusan SMA).
Tahap ketiga (1990 sampai sekarang), Kementerian Pendidikan berfokus pada penciptaan tenaga kerja berpendidikan tinggi untuk mendukung industri teknologi, elektronik, dan industri berbasis ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, sejak tahun 2000, seluruh sekolah dari SD hingga perguruan tinggi dilengkapi komputer dengan akses internet berkecepatan tinggi.
Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar 25 tahun sejak reformasi pendidikan dimulai, Korea Selatan kini bertakhta di puncak kedua dunia. Itu melengkapi prestasinya di bidang industri elektronik dan koneksi internetnya yang di peringkat satu. Kok bisa? Catatan sangat penting dalam analisis The Learning Curve adalah bahwa, untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, uang memang penting, tetapi yang lebih penting daripada uang adalah besarnya dukungan kultur lingkungan terhadap pendidikan.
Untuk mengimbangi pembangunan domain kognisi yang sarat dengan hafalan dan ulangan, pemerintah Korea Selatan pun menggalakkan pelajaran seni dan olahraga bagi para siswa sejak SD. Itulah dasar-dasar bagi pembentukan jati diri bangsa dan karakter. Yang dibangun di sekolah bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga seluruh tubuh, melalui berbagai macam olah seni dan olahraga yang, untuk itu pun, bangsa Korea Selatan mampu mencatatkan prestasi internasional: taekwondo, basket, bulu tangkis, bahkan tim sepak bolanya berhasil mencapai babak kualifikasi Piala Dunia selama delapan kali berturut-turut, dan itu merupakan rekor terbanyak di Asia.
Tradisi Konfusianisme
Konfusianisme Korea (Yugyo) merasuk ke dalam darah bangsa dan menjadi fondasi kebudayaan yang mengatur sistem moral, pola kehidupan, dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi banyak sistem hukum. Sebagaimana diketahui, spirit Konfusianisme mengajarkan bahwa, untuk menjadi sempurna, manusia harus menjalani pendidikan dan latihan yang keras dan terus-menerus. Kualitas itulah yang secara sosial akan menempatkan seseorang di puncak status (meritokrasi). Itulah yang mendorong para orang tua Korea berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Itulah semangat kebudayaan yang melahirkan "demam pendidikan" dan terbukti menempatkan Korea Selatan berada di puncak hierarki dunia. Adalah spirit Konfusianisme juga yang, sebagaimana ditunjukkan oleh The Learning Curve, menempatkan Hong Kong, Jepang, dan Singapura berada di lima besar.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia agar mampu mengangkat bangsanya dari dasar jurang? Uang memang penting, tapi budaya jauh lebih penting! Hentikan politik diskriminasi pendidikan yang membangun kasta-kasta sekolah unggulan dan bukan unggulan yang berbiaya mahal! Hentikan ujian nasional yang tidak hanya memboroskan dana, tenaga dan waktu, tapi juga lebih parah dari itu, hanya menjadi pemicu "kriminalitas pendidikan" dan memberikan ukuran menyesatkan tentang peringkat kecerdasan seseorang. Lebih tragis lagi, ujian nasional telah menghancurkan tujuan pendidikan: bukannya membangun karakter dan akhlak mulia, melainkan menjadikan para anak didik sebagai hamba angka, peringkat, dan ijazah!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu, murah, dan adil serta bisa diikuti oleh seluruh warga negara. Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi Konfusian). Itulah makna dari lirik lagu kebangsaan kita: "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.
Orientasi Pendidikan
Namun jika orientasi pendidikan kita adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai –katakanlah hingga dua dekade ke depan— yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.
Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 40 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 9 juta orang.
Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.
Paul Krugman, kolumnis The New York Times, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah –yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi— kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.
Kreativitas dan imajinasi
Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!
Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk ”jadi pegawai”, yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran. Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) ”bertaraf internasional” yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional.
Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian.
Kata kuncinya adalah ”kreativitas” dan ”imajinasi”; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun! Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.
Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah. Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat ”cinta belajar” pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas ”cinta belajar”, apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.
Membangun semangat ”cinta belajar” tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam.
Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan. Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.
Yudhistira ANM Massardi
Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, Jawa Barat.
What's Your Reaction?