Inisial boleh Sama, Tapi S Yang Ini Seorang Polisi Teladan
Suheri Sitorus mengabdikan dirinya menjadi guru bagi masyarakat Suku Sakai. Ia rela sisihkan gajinya agar anak-anak Sakai bisa baca tulis. Lelaki 20-an tahun itu masih berdiri di depan kelas. Ia baru saja selesai mengeja huruf demi huruf yang tertera di papan tulis yang menempel di dinding kayu. Meski sudah selesai membaca, Arifin, warga Dusun Satu, Desa Pauh, Kecamatan Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, yang jauhnya sekitar tiga jam perjalanan arah Barat Daya Pekanbaru, Riau, itu belum boleh duduk.
Ia masih harus menyelesaikan tugas menghitung. Sepuluh jarinya kemudian dia utak-atik. Seorang Bintara Polisi yang sedari tadi berdiri di sampingnya memandang tersenyum. “Ayo Fin, 10 dikurang 2 berapa? Coba hitung,” ujar polisi itu menyemangati remaja Suku Sakai itu. Yang disemangati justru kikuk.
Arifin, murid yang kikuk tadi adalah yang termuda dari sekitar 23 orang siswa-siswi di ‘sekolah’ yang terletak di Jalan Batin Baroban, Sri Pauh. Selebihnya sudah tergolong tua. Bahkan ada yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Namanya Lina, perempuan, badannya subur dan sudah punya dua cucu.
Para murid tadi tak pernah berseragam sekolah. Tak bakal pernah pula menerima rapor layaknya pelajar di sekolah formal. Sebab ‘sekolah’ itu hanya bangunan dari kayu berlantai semen. Tempat ini dulunya digunakan sebagai tempat ibadah, bekas Masjid Al-Khairat, yang luasnya tidak lebih dari 200 meter persegi.
Di dalam bekas masjid itu, tikar plastik menjadi alas duduk. Meja belajar yang mereka pakai hanya sehelai papan yang diberi kaki. Satu meja dipakai untuk empat atau lima murid. Papan meja itu berasal dari barang rongsokan penduduk desa yang sengaja ditumpuk di sudut bangunan itu.
“Kalau papan itu habis, terpaksa meja kami ini nanti yang diambil untuk papan penutup liang lahat,” kelakar Lina sembari menunjuk papan yang masih menumpuk.
Saban malam Selasa dan malam Rabu mereka belajar membaca, menulis, berhitung, mengenal lambang dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sekali pertemuan berlangsung dua jam. Waktu istirahat 10 menit.
Murid-murid dibagi dua kelompok. Kelompok yang baru belajar membaca, menulis dan berhitung di meja bagian kiri. Yang sudah lancar di bagian kanan. Lina termasuk dalam kelompok yang sudah lancar.
Ketika jam istirahat tiba, sebaskom gorengan mereka santap ramai-ramai. Gorengan tadi dilengkapi kopi, teh dan air mineral.
Siapa sang guru? Ia adalah Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Suheri Sitorus. Prajurit Bhayangkara Itu menjadi satu-satunya guru tetap di sana.
Tak pernah terlintas di benak Suheri bakal menjadi guru warga Suku Sakai saat bertugas sebagai Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di desa itu.
Sebagai orang baru dan menjadi satu-satunya polisi di wilayah berpenduduk lebih dari 8000 jiwa itu, ayah tiga anak ini langsung sowan ke kepala desa, para kepala dusun, RT, RW, tetua adat dan tokoh masyarakat.
Jebolan Sekolah Polisi Negara (SPN) Sampali, Sumatera Utara, 1999 ini kaget saat bertemu kepala desa. Rupanya Sang Kepala Desa tak bisa baca tulis.
Kenyataan serupa juga ia temukan ketika ketika berbincang dengan Aprizal dan Yatno di warung kopi. Aprizal adalah pimpinan (Batin) adat Suku Sakai. Ia jadi pemimpin 300 kepala keluarga Suku Sakai di sana. Sedangkan Yatno menjabat Kepala Urusan Pemerintahan Desa.
Waktu pertama kali berjumpa Suheri, Aprizal dan Yanto gugup. Apalagi yang memanggil itu polisi. Biasanya warga Sakai dipanggil ke kantor polisi lantaran ada kasus surat tanah. Meski tak bisa tulis baca, surat-surat yang tidak bisa mereka baca dipaksa untuk diteken. “Beginilah kehidupan kami di sini, Pak. Sering dibodoh-bodohi orang lantaran buta huruf,” keluh Aprizal.
Mendengar pengakuan polos itu, Suheri hanya bisa tertegun. “Tolonglah kami, Pak. Ajari kami baca tulis supaya kelak tak dibodoh-bodohi orang lagi,” pinta Aprizal memelas.
Mendengar permintaan itu, Suheri mengangguk. “Kalau benar mau belajar, datanglah ke kantor saya. Nanti kalau sudah bisa tulis baca, periksa dulu isi surat yang mau diteken. Kalau tidak, bisa-bisa rumah Bapak terjual,” Suheri mengingatkan.
Keesokan harinya Aprizal dan Yatno menepati janjinya. Keduanya datang ke kantor Suheri yang berjarak sekitar delapan kilometer dari kampungnya. Seorang warga bernama Ratih ikut bersama mereka. Sementara di pos polisi yang menjadi kantor Suheri, sudah disiapkan papan tulis yang sudah terisi huruf abjad yang ditulis sendiri oleh Suheri.
Itulah hari pertama warga Sakai belajar baca tulis. Informasi itu langsung menyebar ke seantero desa. Tak butuh waktu lama, murid Suheri terus bertambah. Hari demi hari pos itu makin disesaki murid. Yatno melempar usul supaya bangunan bekas masjid yang ada di Dusun Satu dijadikan tempat belajar. Semua setuju.
Setelah punya ruangan baru, bukan berarti semua muridnya rajin datang. Kalau sudah begitu, Suheri langsung berpikiran positif saja. “Yang nggak datang mungkin lantaran ada kesibukan. Itu saja pikiran saya. Saya nggak mau memaksa mereka datang belajar. Senyaman mereka saja. Biar pelajaran bisa dicerna,” begitu cara Suheri menghadapi para muridnya yang sudah berumur itu. Sabar.
Suheri yakin, tak ada satupun di antara warga itu yang mau buta huruf. “Keadaan yang membikin mereka seperti itu. Dan gara-gara itu pula hidup mereka susah. Mudah-mudahan setelah mereka bisa tulis baca, kehidupan mereka bisa lebih maju,” ungkap Suheri berharap.
Tak mudah bagi Suheri untuk benar-benar bisa diterima menjadi bagian dari masyarakat di sana. Masalahnya, masyarakat di sana sempat antipati dengan polisi. Seperti halnya Lina yang sempat bergidik saat adiknya cerita kalau yang menjadi guru itu seorang polisi.
“Aih Mak, polisi dari mana ini Tuhan! Takutlah aku! Nanti kalau tak pandai kena marah pula,” kata Lina kepada adiknya. Namun sang adik meyakinkan bahwa polisi yang mengajar itu orangnya baik. Tidak seperti yang ia gambarkan.
Suheri mafhum dengan sikap warga Sakai itu. Makanya dia berusaha melakukan pendekatan dengan cara kekeluargaan. Perintah pimpinan yang tak pernah lari dari 13 aspek di Polri menjadi pegangannya.
“Kalau ada yang keluar dari 13 aspek tadi, yang semacam itulah yang tak disukai masyarakat. Tapi kalau tak keluar dari 13 aspek itu, output-nya kepada masyarakat pasti bagus,” ujar Suheri.
Suheri terus berusaha berbaur dengan masyarakat. Nongkrong di warung kopi sering dia lakukan. Pelan-pelan lelaki ini menyadarkan warga tentang pentingnya kebersamaan, taat hukum serta patuh aturan di jalan raya. “Surat-surat kendaraan jangan sampai mati. Surat kendaraan itu sangat penting. Pajaknya mesti dibayar.” Begitu Suheri mengingatkan masyarakat saat ngopi bersama.
Lantaran sikap dan akhlak yang baik, Suheri kian disenangi. Bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga. Suheri menjalaninya dengan ikhlas. Ia tak segan membantu warga mengurus pajak kendaraan tanpa berharap imbalan.
“Dulu kami tak ngerti soal pajak kendaraan. Pak Toruslah yang memberitahu kami. Dan kepadanya kami minta tolong untuk mengurus pajak itu ke Pasir Pangaraian (Ibukota Kabupaten Rokan Hulu). Kami tak berani datang sendiri ke sana. Kalau kebetulan kami tak punya duit, Pak Torus yang mendahulukan,” jelas Aprizal.
Kedekatan Suheri dengan masyarakat akhirnya membawa dampak yang besar bagi keamanan desa itu. Tingkat kejahatan menurun drastis. “Dulu di sini banyak bandar narkoba. Sekarang alhamdulillah, zero,” Suheri memastikan Kalau kebetulan ada orang main judi, Suheri tak langsung menjebloskannya ke dalam sel. Tapi justru dia ceburkan ke dalam kolam. “Selagi direndam di kolam, saya panggil istrinya. Saya kasih tahu kalau suaminya berjudi. Saya rasa, membuat orang biar insyaf itu bukan musti dipenjara. Sentuh hatinya, biar dia nggak melakukan lagi,” ucap Suheri membocorkan trik yang dia lakukan merangkul warga.
Hanya saja, kedekatan lelaki ini dengan masyarakat ini malah membu- atnya kesulitan pindah tugas. “Mereka sudah terlanjur sayang sama saya. Saya nggak dikasih pindah. Kalau saya pindah, mereka bilang akan demo ke Polres. Bisa sampai empat truk demo. Kalau sudah begini, bisa-bisa dibilang pula saya provokator,” papanya sambil terkekeh.
Sempat juga terpikirkan oleh Suheri untuk diam-diam pindah tugas. “Tapi saya nggak tega. Ya kalau pengganti saya mau melanjutkan sekolah ini, kalau nggak gimana?,” jebolan SMK Persiapan Pematangsiantar ini membatin.
Dukungan Istri
Hampir saban pekan Suheri pulang ke rumahnya di Ujung Batu, Rokan Hulu, yang berjarak tiga jam perjalanan dari desa itu. “Tiap malam Selasa dan malam Rabu Abang ngajar di tempat kerja, Dek,” begitulah Suheri cerita kepada istrinya, Ismayeni.
Mendengar omongan Suheri, Ismayeni senang. “Kalau bisa Bang, berikanlah mereka makanan dan minuman. Biar ada yang mereka makan saat jam istirahat. Mereka itu kan capek belajar,” ucap jebolan Akademi Perawat Flora, Medan, Sumut, itu. “Nanti kalau mereka sudah bisa tulis baca, kalau bisa Abang ajari jugalah mereka bacaan sholat dan doa-doa,” katanya menambahkan.
Melihat dukungan sang istri, Suheri makin semangat mengajar. Ia memenuhi saran istrinya. Tak peduli duit seratus ribu dia rogoh dari koceknya tiap kali mengajar. Walhasil dalam sebulan Suheri harus mengeluarkan uang Rp800 ribu hanya untuk membelikan alat tulis dan makan minum tadi. “Saya tak pernah berharap apa-apa dari mereka. Mereka mau belajar saja sudah syukur. Kehidupan mereka masih susah. Cuma berharap dari ikan dan mencari brondolan (biji kelapa sawit). Cari pagi habis tengah hari,” kata Suheri.
Agar uang untuk itu selalu ada, Suheri dan istrinya kemudian berjualan bahan pokok di Desa Pauh. Tiap bulan Suheri membawa ikan asin dan beras untuk dijual lagi. “Istri saya yang belanja ke pasar Ujung Batu. Saya yang bawa ke sini. Ndak banyak-banyaklah. Paling ikan asin 20 kilogram dan beras 5 karung. Itupun tak saya jual kontan. Diutangkan dulu,” Suheri tertawa.
Suheri mengaku bangga dengan istrinya. Ia langsung terbayang saat bertemu pertama kali dengan sang pujaan hati pada 2005 silam. Waktu itu Suheri masih bertugas sebagai anggota Satuan Reserse Kriminal Polres Tebing Tinggi.Waktu itu ia dapat tugas memburu penjahat kasus perampokan di Deli Tua, Deli Serdang. “Saat saya beli nasi di sebuah rumah makan, saya berpapasan dengan gadis berpakaian putih-putih. Saya ajak kenalan dia nggak mau. Salaman juga ditolak. Saya penasaran. Lantaran buru-buru, saya tulis nama dan nomor HP saya. Saya kasih ke dia,” kenang Suheri.
Sehari, seminggu, sebulan, tak ada tanda-tanda gadis tadi menelepon. Lantaran banyak tugas, perkenalan itu sempat terlupakan. Namun enam bulan kemudian, dia baru dihubungi. Telepon genggamnya berdering.
Singkat cerita, Suheri dan pujaan hati janjian di Amplas Medan. Dia bela-belain menjumpai Ismayeni pakai sepeda motor butut. “Saya nggak mau pacaran lama-lama, saya mau nikah saja. Tolong kasih tahu sama orang tua kamu,” kata Suheri blak-blakan.
Permintaan Suheri tadi langsung disampaikan Ismayeni kepada orang tuanya di Ujung Batu. Tak berapa lama Ismayeni meneleponnya: “Bang, aku minta foto abang yang 10R. Pakai pakaian dinas lengkap, ya. Biar aku tunjukkan sama orang tuaku.” Pucuk dicinta ulam tiba. Tiga bulan kemudian Suheri dan Ismayeni menikah dan kini dikarunia tiga anak.
Anak Penjual Lontong
Suheri lahir di sebuah rumah reyot berlantai tanah di Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Ia anak kedua dari enam bersaudara. Ayahnya seorang buruh serabutan, sedangkan ibunya berjualan lontong.
Kehidupan ekonomi keluarga yang memprihatinkan, memaksa Suheri ikut mencari nafkah. Sejak kelas 4 sekolah dasar, ia berjualan sayur keliling dengan sepeda butut. Pekerjaan ini ia jalani hingga tamat SMP.
Lulus SMP, Suheri melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Persiapan di Pematang Siantar. Orang tuanya hanya sanggup memberi bekal sebulan. Bulan berikut- nya Suheri harus banting tulang kerja apa saja. “Saya jadi tukang cuci piring di rumah makan. Saya digaji Rp 15000 ribu,” kenang lelaki yang menjadi langganan juara dua di SMP dan SMK itu.
Menjadi anggota Bhayangkara, baginya suatu keberuntungan. Lulus SMK, dia diajak oleh temannya untuk tes masuk polisi di Medan. “Waktu itu saya bingung mau kerja apa. Eh kawan ngajak tes. Dia ongkosi saya ke Medan. Saya lulus, dia tidak,” katanya.
Lulusnya Suheri menjadi polisi membuat bangga warga sekampungnya. “Setelah jadi polisi, saya bantu biayai sekolah empat adik saya. Maklum, Emak saya sudah sendirian. Adik saya yang paling kecil sekarang sudah mau wisuda,” ujarnya.
Kisah pahit inilah yang kemudian menjadi kenangan manis sekaligus pelajaran hidup Suheri. Dimanapun, dia tak ingin melihat orang susah seperti perjalanan hidupnya. Tak terkecuali masyarakat tempatan tadi.
“Sekarang saya sedang bikin program ekonomi kecil buat ibu-ibu di sini. Saya dorong ibu-ibu beternak itik agar bisa membantu penghasilan suaminya,” kata Suheri.
Istrinya sudah memesan 200 ekor itik untuk enam orang ibu. modal membeli ternak itu dari tabungan istri Suheri hasil keuntungan jualan. Kini kandang itik sudah siap. “Mudah-mudahan itiknya segera datang,” kata Suheri.
Suheri bukan hanya teladan di kampung warga Sakai. Suheri adalah teladan polisi Indonesia Raya.
Atas dedikasinya yang peduli terhadap bidang pendidikan terhadap anak-anak Suku Sakai di Desa Pauh, Suheri sempat bertemu langsung Kapolda Riau dan Kapolri, serta menerima penghargaan sebagai Bhabinkamtibmas terbaik.
ABDUL AZIZ
What's Your Reaction?