Murid melawan guru, apa saja yang dapat dilakukan?
Akhir-akhir ini berita guru yang mendapat perlakuan diskriminatif menjadi topik hangat. Sehingga dapat menjadi evaluasi bersama dalam dunia pendidikan. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan mengenai hal ini dimana salah satunya adalah pendidikan karakter
Baru-baru ini terdapat berita yang sangat menghebohkan, terutama bagi dunia pendidikan Indonesia. Seorang guru di Bengkulu harus kehilangan sebelah matanya setelah diketapel oleh orang tua murid yang tidak terima anaknya ditegur karena merokok di ruangan kelas. Sontak saja kasus ini menuai banyak kecaman dari masyarakat karena sangat biadab dan bukan pertama kalinya guru mendapat kekerasan seperti ini. Sebelumnya juga pernah terjadi kasus serupa yang pernah dialami oleh guru di Nusa Tenggara Timur dimana seorang guru sosiolog dipukul dan ditendang muridnya pada tahun 2022 (Kompas, 2022). Melihat kasus yang sudah terjadi membuat kita bepikir kembali apa yang harus diubah untuk mengatasi permasalahan ini. Sebab jika dibiarkan begitu saja maka dikhawatirkan kekerasan kepada guru akan “diwajarkan” karena tidak ada upaya perlindungan bagi korban.
Perlu diingat kembali bahwa guru sebagai tenaga pengajar dilindungi oleh hukum seperti yang tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selain itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan juga menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan mendapatkan 4 perlindungan, salah satunya adalah perlindungan hukum yang mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perilaku, diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak baik. Dengan demikian anggapan bahwa guru hanya profesi biasa yang tidak diatur oleh negara itu tidak benar. Namun U ini akan sia-sia jika tidak ada upaya konkret dari penegak hukum untuk merealisasikan UU ini.
Murid beserta orang tua juga harus memperhatikan masalah ini karena bisa saja kasus yang terjadi melibatkan murid beserta orang tuanya. Seperti contoh: Orang tua emosi setelah anaknya mendapat hukuman lalu segera melakukan tindakan diskriminatif kepada guru tersebut tanpa melakukan pengecekan kembali mengenai siapa yang sebenarnya salah. Bisa saja murid berbohong atau melebih-lebihkan cerita agar dibela orang orang tuanya. Yang lebih ironisnya jika ternyata sang murid memang benar-benar bersalah namun malah berbohong. Untuk mencegah kasus yang seperti ini maka murid, orang tua, dan guru harus saling bertemu dan membuat sebuah kesepakatan bersama mengenai hal ini agar guru dapat menahan diri dari memberikan hukuman yang berpotensi menyulut amarah orang tua murid. Selain itu orang tau murid juga dapat memahami bahwa dalam proses pendidikan terkadang dibutuhkan aksi dari pendidik (seperti teguran atau hukuman) sehingga tidak ada alasan lagi untuk membela anak mati-matian jika ternyata sang anak lah yang bersalah. Murid pun juga wajib mengetahui bahwa dalam pendidikan sangat wajar jika murid mendapat sanksi jika melanggar peraturan selama itu tidak berlebihan. Sayangnya ada beberapa murid yang menganggap enteng keberadaan peraturan dan seorang guru sehingga peran orang tua dan guru (terutama guru BK) diperlukan dengan pendekatan khusus untuk mengedukasi anaknya agar sang murid memahami perannya sebagai peserta didik.
Dalam skala yang lebih luas, pendidikan karakter juga semestinya kembali dilakukan dengan lebih intens terutama bagi peserta didik. Kita sudah mendengar berita bahwa ada anak kecil yang suka berkata kotor, anak SMP yang sudah hamil, dan anak SMK yang berani tawuran hingga menghilangkan nyawa orang lain. Siswa yang melakukan diskriminasi kepada guru juga merupakan contoh lain dari hilangnya karakter seorang siswa yang harus segera diperbaiki. Apabila seorang siswa sudah mempunyai karakter yang baik dan memahami posisinya sebagai peserta didik, diharapkan tidak ada lagi berita seorang murid menendang gurunya di masa depan kelak dan wajah pendidikan Indonesia akan lebih baik kedepannya.
What's Your Reaction?