Siti Hajar Rahmawati, MA *)
SahabatGuru - Hampir seluruh sekolah di negeri ini memberlakukan masuk sekolah pada pagi hari, yakni rata-rata dalam rentang pukul 06.30-7.00. Hanya beberapa sekolah yang memberlakukan aturan jam masuk dimulai pada pukul 07.30-08.00.
Ternyata, Indonesia adalah negara dengan jam masuk sekolah paling pagi di seluruh dunia. Korea Selatan, misalnya, menetapkan jam masuk sekolah pukul 08.00, sementara Jepang pukul 08.50, dan Inggris pukul 8.30.
Sebenarnya apa arti penting dari jam masuk sekolah ini? Hal yang masih luput dari perhatian publik adalah bahwa anak-anak usia sekolah itu memiliki proses tumbuh-kembang yang tidak hanya melibatkan faktor kognitif dan emosional, tetapi juga biologis.
Pada anak usia sekolah, terutama usia remaja (SMP dan SMA), mereka membutuhkan waktu tidur rata-rata sembilan jam di malam hari. Hitung saja, jika remaja masuk sekolah pada pukul 07.00, maka paling tidak mereka harus bangun pada pukul 05.00. Artinya, mereka harus sudah tidur pada pukul 9 malam.
Namun faktanya yang terjadi banyak anak remaja cenderung sulit tidur di awal waktu karena secara alami otak mereka bekerja lebih lambat dan tidak siap untuk tidur awal. Keadaan ini biasanya mulai terjadi di usia 9 tahun. Pola tidur ini terbentuk akibat perubahan ritme sirkadian, di mana hormon otak melatonin diproduksi pada larut malam.
Itulah mengapa anak remaja lebih sulit tidur dan mengalami gangguan kurang tidur (sleep deprivation). Akibatnya, mereka tidur lebih larut, dan merasa berat saat bangun. Gejala ini dinamakan sindrom burung hantu. Sindrom ini kian parah jika mereka terus bermain dengangawainya pada waktu jelang tidur. Mereka terbangun pagi hari tetapi masih dalam fase tidur.
Itulah kenapa kita sering menjumpai anak remaja ‘membalas dendam’ atas ‘utang’ waktu tidur mereka di saat libur atau di akhir pekan. Mereka akan tidur berjam-jam atau menyengajakan diri bangun siang.
Menderita Depresi
Journal of Youth and Adolescence tahun 2015 mengungkapkan bahwa remaja yang tidur rata-rata 6 jam per hari dilaporkan menderita depresi. Mereka cenderung lebih lalai, impulsif, hiperaktif, dan menantang ketimbang teman-temannya yang cukup tidur.
Beberapa dari mereka juga memiliki kecenderungan tidur selama pelajaran berlangsung. Selain itu performa kognitif anak remaja cenderung menurun karena kurang tidur serta mengalami ketergangguan kualitas hidupnya.
Dari sisi kesehatan remaja, kekurangan waktu tidur menyebabkan masalah kognitif dan emosional. Carpenter dalam penelitiannya yang dimuat di American Psychological Association tahun 2011, mengungkapkan anak yang beralih remaja akan berubah menjadi ‘mayat hidup’karena kurang waktu tidur. Mereka beraktivitas tetapi otaknya masih berada dalam fase tidur.
Beberapa penelitian lanjutan memperlihatkan temuan bahwa remaja dengan waktu tidur lebih lama prestasinya cenderung lebih baik dibandingkan dengan remaja yang kurang waktu tidurnya. Dewi dan Nursasi pada penelitian tentang gangguan pola tidur dengan prestasi belajar di tahun 2013 menulis bahwa fungsi tidur sebagai proses kognitif memiliki peranan yang sangat penting, terutama saat anak belajar di sekolah.
Karena, kegiatan belajar itu membutuhkan proses mencerna informasi, lalu informasi tersebut dapat dijelaskan kembali oleh anak, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Jika sekolah selama ini hanya mempertimbangkan prestasi akademik siswa, maka sekolah luput melihat hal lain dari sisi anak, yaitu sisi perkembangan psikologi dan kesehatan.
Dampak kurang tidur dapat terjadi dalam jangka panjang seperti masalah berat badan, suka menentang, emosional, dan sulit berpikir logis. Michael Breus, pakar psikologi klinis, menyatakan kurang tidur akan sangat merugikan seseorang sepanjang waktu hidupnya karena pengaruhnya yang signifikan terhadap tubuh dan otak.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan remaja saat mereka kekurangan waktu tidur dapat menyebabkan beberapa kemungkinan, antara lain, diabetes. Keadaan ini terjadi karena saat seseorang kurang tidur akan menyebabkan penyerapan glukosa yang tidak sempurna sehingga memicu risiko diabetes. Selain itu, anak dihadapkan masalah berat badan. Anak-anak yang di saat remaja kekurangan waktu tidur cenderung mengalami kegemukan di saat dewasa.
Mereka juga mengalami kesulitan berpikir logis. Anak-anak mungkin mampu mengerjakan soal ujian dengan baik dan benar, tetapi mereka tidak cukup mampu berpikir logis dan akhirnya mudah cepat lupa. Kurang tidur juga menyebabkan kurang konsentrasi dan mengakibatkan kelelahan.
Anak-anak yang kurang tidur akan menghadapi masalah emosional dan perhatian. Mereka mudah marah meskipun hanya dipicu masalah kecil. Saat diajak bicara, mereka sering terlihat tidak mendengarkan, tak acuh, dan bahkan menentang. Apalagi jika hal itu bukan lantaran mereka merasa tidak mempunyai kontrol terhadap aktivitas sehari-hari yang membuat mereka ingin mengontrol orang lain (terutama orangtua).
Solusi dari hal ini adalah dengan memundurkan jam masuk sekolah. Dengan memperhitungkan keadaan biologis dan masa tumbuh-kembang anak, maka akan didapatkan perkiraan jam masuk sekolah yang paling tepat, serta berapa rentang waktu belajar di sekolah.
Sebagai gambaran, anak usia SMP-SMA yang berada di usia remaja akan lebih tepat jika jam masuk sekolah dimulai pada pukul 08.00-08.30. Edukasi dan informasi mengenai keadaan anak usia sekolah terutama anak remaja harus lebih masif, karena banyak orangtua yang mengeluhkan anak remaja mereka menjadi hobi begadang, malas bangun pagi, di malam hari sibuk dengan gawainya, dan terkadang acuh.
Selain itu, Kemendikbud dalam proses membuat keputusan atau kebijakan tertentu yang berkenaan dengan sistem sekolah harus meli batkan seluruh ahli. Baik itu ahli pendidikan, psikologi, pediatri, kesehatan, dan manajemen sehingga hasil keputusan atau kebijakan yang diambil komprehensif.
Sekolah sebagai salah satu media tumbuh-kembang anak juga tidak hanya fokus pada kebutuhan prestasi akademik siswa, tetapi juga mempertimbangkan aspek lainnya. Sekolah bisa jadi merasa malu jika prestasi akademik siswa-siswinya menurun, lalu membuat program belajar baru demi meningkatkan nilai akademik. Tetapi apakah sekolah juga merasa malu apabila keadaan psikologi dan kesehatan siswa-siswinya terabaikan, hal yang kelak berdampak terhadap masa depan mereka?
*) Penulis adalah pemerhati pendidikan di Indonesia dan memiliki anak remaja yang menjadi siswa atlet