Modal Gabut

Jun 27, 2023 - 21:26
Jun 27, 2023 - 22:26
 0
Modal Gabut
foto ilustrasi dari freepik

Ide pemberdayaan ekonomi desa ini saya rumuskan saat gabut berbulan-bulan di Desa Kranggan Harjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan. Saat ini, saya menemani ibu yang sakit berkepanjangan setelah terserang Covid-19. Beliau akhirnya wafat setelah menjalami perawatan di rumah dan di rumah sakit selama 9 bulan.

Selama di kampung, saya intens berdiskusi dengan kawan-kawan dari Lazismu Grobogan. Hampir dua kali seminggu mereka datang ke rumah ibu. Selain untuk tujuan visite pasien, mereka mendiskusikan berbagai program Lazismu. Salah satunya: Peternakan kambing qurban.

Sudah lama kawan-kawan Lazismu Grobogan ingin punya peternakan kambing untuk stok hewan qurban. Namun belum juga menemukan formula yang tepat. Dari diskusi itu, saya tahu akar masalahnya: Modal investasi dan modal kerja beternak kambing lumayan besar. Lazismu Grobogan tidak punya alokasi dana untuk program itu.

Akhirnya ketemu rumusnya. Modal itu diperoleh dari uang pembelian kambing para sohibul qurban. Caranya, sohibul qurban diminta melunasi harga kambingnya 150 hari sebelum Idul Adha. Harga per ekor saat itu Rp 2,5 juta.

Hitung-hitungan sederhananya begini:

- Biaya membeli bibit Rp 750.000 per ekor

- Biaya pakan per ekor Rp 150.000/bulan atau Rp 750.000/5 bulan.

- Harga jual Rp 2.500.000 per ekor

- Saldo dana Rp 1.000.000 per ekor

Saldo ini dialokasikan sebagai upah dan keuntungan peternak yang bertugas memelihara kambing selama 5 bulan.

Problem lainnya yang belum terselesaikan adalah:

1. Di mana lahan untuk lokasi kandangnya?

2. Bagaimana memperoleh pakan murah?

3. Dari mana sumber biaya pembangunan kandangnya?

Tiga problem itu akhirnya menemukan solusinya sendiri-sendiri.

1. Lahan meminjam milik warga Muhammadiyah di desa Sedayu, sentra produksi kecambah kacang hijau di kecamatan Grobogan.

2. Pakan murah diperoleh dari limbah kulit kacang hijau dari warga desa ditambah hijauan rumput yang ditanam di bawah hutan jati. Desa Sedayu memang salah satu desa di kawasan hutan milik Perhutani.

3. Sumber biaya pembangunan kandang diperoleh dari donasi/infak masyarakat melalui Lazismu.

Akhirnya, berdirilah satu bangunan kandang berkapasitas 19 ekor. Saya menjadi pembeli 7 ekor di antaranya. Sisanya dari warga Muhammadiyah yang tertarik.

Hasil pengelolaan tahap pertama sukses. Kambing bisa dipanen untuk kebutuhan qurban sesuai jadwal dengan spesifikasi di atas perkiraan. Cerita ini menjadi ''modal'' untuk mengelola program tahun kedua. Jadilah kandang yang sekarang ini, dengan kapasitas 100 ekor.

Konsep lunas H-150 sama dengan strategi permodalan yang mengandalkan dana ''pre-order''. Pembeli membayar lunas terlebih dahulu. Barang baru dikirim belakangan.

Dengan model bisnis seperti ini, pemberdayaan ekonomi desa melalui program stok kambing qurban bisa dilakukan dengan ''modal dengkul''. Semua dana pemberdayaan berasal dari transaksi bisnis para sohibul qurban 150 hari sebelum Idul Adha.

Bagaimana kalau peternaknya menipu? Uang sudah diterima, tapi ternaknya tak kunjung kelihatan? Di sinilah peran Lazismu dalam mitigasi risiko. Lazismulah yang bertindak sebagai offtaker semua kambing qurban. Lazismu pula yang nanti mengelola kegiatan qurban, dari pemotongan hingga pendistribusian ke desa-desa miskin di pelosok hutan.

Sukses di Grobogan, konsep ini saya perkenalkan kepada warga desa Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. Akhir tahun lalu, saya inisiasi dengan membeli 2 ekor kambing. Kemarin petang, Pak Efrizal Ali, tokoh desa Sarireja, melaporkan tengah menyelesaikan pembangunan kandang baru berkapasitas 150 ekor untuk persiapan qurban tahun 2024.

Ternyata, pemberdayaan ekonomi desa bisa dilakukan dengan modal dengkul. Tanpa rapat di hotel berbintang yang justru menghabiskan anggaran pemberdayaannya. 

 

Joko Intarto 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Sahabat Guru Inspirasi Indonesia Maju