Muliakan Guru, Indonesia Maju
Banyak kebijakan dan program strategis yang dapat dikembangkan Pemerintah untuk menjawab tantangan yang berkembang sekarang, termasuk dalam bidang pendidikan. Masalah yang ada hari ini tentu bukan hanya ditujukan bagi eksekutif, dalam hal ini Presiden dan Menterinya, tapi juga para anggota DPR dan stakeholder. Mengingatkan kembali, bahwa tujuan berdirinya Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, bidang pendidikan memegang peranan penting.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk membentuk manusia yang memiliki kecakapan praktis dan dapat memecahkan masalah sehari-hari dengan baik, dengan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia. Pendidikan adalah pondasi yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, serta memastikan berjalannya roda ekonomi dan sosial. Dengan pendidikan yang baik, ekonomi masyarakat akan meningkat, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan juga membaik. Fungsi utama pendidikan dalam kaitan dengan kehidupan ekonomi adalah mempersiapkan kaum muda untuk mengisi lapangan kerja produktif, meningkatkan kemampuan mereka agar dapat menghadapi permasalahan yang ada, semua itu didapat dari pendidikan mental, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat.
Untuk menjadikan pendidikan sebagai sektor pembangunan efektif, guru merupakan faktor mutlak. Bukan saja jumlahnya yang harus mencukupi, melainkan juga mutu- nya harus baik. Makin sungguh-sungguh Pemerintah untuk melakukan pembangunan SDM, makin penting kedudukan guru. Sebagai faktor pembangunan yang sangat strategis, pembangunan pendidikan (guru di dalamnya) tidak bisa dilakukan dengan cara-cara sporadis dan terbatas. Karena dalam pembangunan pendidikan, kita akan bicara kondisi yang hari ini terjadi dan juga bicara tentang kondisi 20, 30, 40 tahun ke depan, dalam menyiapkan generasi penerus pembangunan. Sekalipun sulit memprediksi faktor yang akan terjadi ke depan, namun sebagai kelompok tenaga kerja khusus, guru dituntut untuk dapat hidup dan berpijak pada realitas hari ini, esok dan masa depan. Mereka bertanggung jawab untuk menghubungkan hari ini dan yang akan datang. Termasuk menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang berkembang seiring perkembangan zaman. Hanya guru yang kompeten yang dapat menempatkan dirinya dalam tugas yang berat itu.
Pemenuhan Kebutuhan Guru
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional metingkat pendidikan dasar dan menengah merupakan aset nasional. UU juga menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Fasilitas yang diberikan pemerintah itu melalui pengangkatan, penempatan dan penyebaran tenaga pendidik yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan satuan pendidikan. Dengan mekanisme permintaan berasal dari bawah maka penempatan guru diharapkan dapat benar-benar berdasarkan kebutuhan sekolah.
Masalahnya, dapatkah pemerintah memenuhi kewajibannya terhadap permintaan sekolah selama ini? Isu-isu strategis soal distribusi dan pendayagunaan guru terjadi karena sistem pendataan yang tidak baik dan telah membuat kondisi pendidikan kita muram. Masalah lain adalah masih rendahnya profesionalisme guru, dilihat dari kualifikasi pendidikan, kompetensi dan pengalamannya. Ditambah lagi soal rendahnya efektifitas supervisi sekolah dan rendahnya akuntabilitas lembaga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dalam pengembangan profesi dan karir.
Meningkatkan Kompetensi Guru
Kurangnya kemauan guru untuk mengubah perilaku mengajarnya yang dipengaruhi keterbatasan sarana prasarana dan rendahnya tingkat kesejahteraan, rasanya menjadi masalah utama pendidikan kita pada hari-hari ini. Di luar masalah itu, banyak guru yang masih senang bertugas di kota dan sulit mencari guru yang mau mengajar di daerah adalah faktor yang membuat tidak meratanya kualitas pendidikan kita. Padahal harus diakui, banyak guru-guru berprestasi dan sudah menjadi mentor nasional. Masalahnya adalah pada sebaran. Banyak sekolah di Jakarta dengan guru-guru di atas rata-rata. Namun kondisi yang sangat berbeda ditemukan di desa-desa dan daerah-daerah marjinal.
Dalam UU Sisdiknas kualifikasi minimum pendidikan guru ditingkatkan. Guru TK berkualifikasi minimal D-II, sementara SD hingga SLTA minimal S1. Kualifikasi itu menuntut guru harus menyesuaikan. Dan bagi yang belum memenuhi kualifikasi harus kembali menempuh pendidikan. Guru dituntut kembali belajar di tengah beban tugas megajar sehari-hari. Khusus untuk guru SMK, UU Sisdiknas menempatkan guru mata pelajaran kejuruan untuk memiliki pengalaman industri. Hal itu untuk mengatasi masalah minimnya pemahaman praktis dunia industri para guru SMK manakala mereka mengajar murid-muridnya. Sayang masih banyak guru yang direkrut tanpa memiliki pengalaman industri yang cukup.
Penguatan LPTK
Tenaga kependidikan harusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan/keguruan (LPTK). Sayang UU Sisdiknas yang dianut sekarang tidak demikian halnya. UU Sisdiknas hanya memberikan rambu bahwa guru pada jenjang pendidikan mulai dari pra-sekolah, dasar hingga menengah dihasilkan dari perguruan tinggi yang terakreditasi. UU Sisdiknas menganut “sistem terbuka” dalam rekrutmen guru. Akibatnya profesi guru menjadi terbuka. Guru tidak hanya bagi lulusan sarjana kependidikan, guru juga berasal dari sarjana non-kependidikan. Padahal guru adalah insan khusus yang menjalankan profesi mencetak insan masa depan. Karena semua lulusan bisa melamar menjadi guru, kini semua orang merasa bisa jadi guru, tanpa harus tersertifikasi atau menempuh ujian kompetensi khusus guru. Mereka merasa bisa mengajar. Bahkan kini sudah banyak yang berdiri di ruang kelas mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar pendidikannya. Celakanya lagi sebagian dari mereka hanya memposisikan diri sebagai pegawai (bermental pekerja), bukan guru yang memberikan teladan, menginspirasi dan menggerakkan siswa untuk maju.
Belajar dari Finlandia. Negara ini kerap disebut mempunyai kualitas pendidikan yang baik di dunia. Namun siapa yang menyangka bahwa pada tahun 1980 capaian negara ini masih di bawah rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Profesi guru kini sangat populer di kalangan anak muda di Finlandia. Lebih banyak pelamar yang mendaftar dalam program ilmu keguruan dan pendidikan daripada yang diterima. Tingkat kepopulerannya dan kesulitan tesnya sama dengan fakultas kedokteran. Proses ini tentu sangat baik untuk mendapatkan guru-guru yang termotivasi.
Indonesia? Setiap negara memang punya faktor-faktor perbedaan budaya, struktur masyarakat dan sebagainya, termasuk Indonesia, sehingga tidak serta merta semua yang diterapkan di negara lain itu bisa di-copy paste untuk diterapkan di Tanah Air. Negara ini harus mentransformasi dirinya sendiri.
Masa Emas Guru Indonesia
Sedikit mengajak menengok ke belakang. Pada tahun 1970-an, guru Indonesia pernah mencatatkan sejarah yang patut dibanggakan. Ratusan guru (sebagian besar guru mata pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa) dikirim ke Malaysia atas permintaan resmi negara tersebut. Di sana mereka menunjukkan prestasi dan dedikasi yang sangat baik. Meski jumlahnya tidak banyak, prestasi itu patut menjadi kebanggaan. Tidak berlebihan jika kita menyebut kala itu sebagai “masa emas”. Sebagai tenaga terdidik, para guru Indonesia berperan penting dalam pendidikan negara tetangga. Ini tentu berbeda dengan cerita sekarang, di mana banyak TKI dipekerjakan di perkebunan Negeri Jiran sebagai buruh dan masih saja menyisakan cerita pilu.
Audit Guru
Tingginya kebutuhan nasional akan guru juga menjadi masalah. Di kota-kota banyak lahir sekolah baru yang butuh guru yang cukup, akhirnya kota menjadi pusat penampungan guru-guru. Sementara kondisi berbeda terjadi di daerah. Luasnya wilayah Indonesia membuat masih banyak daerah dengan sekolah tanpa guru yang memadai. Soal kesenjangan yang masih terjadi, seperti fasilitas, ketidak-teraturan penempatan guru, kualifikasi dan pembinaan adalah faktor-faktor utama yang menyebabkan belum berhasilnya sistem pendidikan nasional kita. Underinvestment dalam pendidikan termasuk soal mutu guru merupakan refleksi dari ketidakpahaman para pengambil keputusan dalam sup- ra sistem pemerintahan.
Pemerintah harus berani melakukan langkah besar, yakni melakukan “audit” guru. Bukan hanya soal pendataan kuantitatif tapi lebih jauh ke personal secara kualitatif. Konsekuensinya, saat banyak guru tidak layak ditemukan, mereka harus segera dirumahkan. Tapi mampukah Pemerintah menyiapkan tenaga pendidik baru yang benar-benar kompeten? Termasuk memenuhi angka ideal rasio guru dan murid. Sementara bagi guru yang masih bertahan, kebijakan pembinaan harus mengarah pada meningkatkan mutu dan profesionalisme.
Menjadi seorang guru memang berat. Tidak hanya soal keikhlasan mengajar, profesi ini harus menjadi tugas mulia yang paling membanggakan. Untuk itu dibutuhkan usaha nyata melakukan pembangunan guru demi pembangunan pendidikan. Perangkat kompetensi guru itu meliputi: kebijakan penyelenggaraan pendidikan, kepribadian dan keterampilan sosial, pemahaman tentang wawasan pendidikan, manajemen pembelajaran, manajemen bimbingan dan konseling, manajemen administrasi sekolah, pengembangan diri, manajemen kegiatan ekstra-kurikuler, hakikat struktur keilmuan yang diajarkan, penguasaan materi keilmuan mata pelajaran yang diajarkan, pemahaman karakter atau gaya belajar siswa dan prinsip pembelajaran, keterampilan dalam mengevaluasi hasil pengajaran serta kemampuan menyusun laporan dan mengembangkan sumber belajar. Pemerintah juga perlu melakukan penguatan lembaga pendidikan guru, yang dapat menyelenggarakan pendidikan pre-service (pendidikan pra jabatan) dan in-service (pendidikan dalam jabatan). Agar tidak terjadi kerancuan antara guru yang sudah berpengalaman dengan yang baru lulus. Berikan perhatian serius kepada lembaga pendidikan pencetak guru, menjadikannya sebagai kampus bergengsi yang melahirkan pendidik unggul, yang bisa menjawab kebutuhan zaman, meramalkan zaman dan mempersiapkan masa depan.
Profesionalisme Guru
Kita tahu masih banyak masalah yang mendera pendidikan, namun kita masih berharap pendidikan akan maju di tangan guru-guru efektif dan berdedikasi. Profesionalitas guru menjadi sebuah keharusan dan kompetensi menjadi syarat mutlak menuju profesionalitas guru. Kompetensi itu meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi-kompetensi tersebut harus dimiliki guru, karena dengan memenuhi kompetensi tersebut guru baru dapat dikatakan sebagai guru yang ideal.
Dalam manajemen pendidikan, guru sebagai sumber daya manusia yang memiliki peran penting dalam menentukan output pendidikan. Peran sentral itu berkaitan dengan tugas guru mentransfer ilmu pengetahuan, yang memberikan pengaruh pada cara berpikir, bersikap dan berperilaku peserta didik. Keberhasilan sekolah juga sangat ditentukan oleh guru secara individu, karena perilaku guru yang satu akan mempengaruhi guru lainnya. Dengan perkembangan global sekarang ini, tugas dan pekerjaan guru semakin berat.
Pada lingkungan sekolah, guru mengemban tugas sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar, guru memberikan pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan. Di luar kewajiban formal itu masih ada tanggung jawab guru yang tetap harus dijalankan, misalnya menjalankan tugas sebagai bapak dan ibu di sekolah bagi siswa, menghadapi masalah kenakalan anak-anak dan lain sebagainya. Seringkali pekerjaan harus dilakukan di luar jam kerja. Ini berarti bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang kompleks. Namun apa yang terjadi belakangan ini menunjukan peran guru yang harus dievaluasi. Misalnya saja viralnya video guru yang “di-bully” muridnya yang heboh itu. Adegan yang terekam itu meruntuhkan kewibawaan profesi guru. Perlu diingat bahwa setiap guru harus menjaga wibawanya dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Belum lagi kasus kekerasan guru pada murid (kekerasan fisik atau juga kekerasan seksual), terjadi keributan antar guru, adalah masalah yang sering muncul dan menjadi sorotan.
Sementara itu terdapat pula perilaku guru yang tidak mau mengembangkan diri. Antara lain, guru kurang memahami administrasi sekolah, guru belum memahami bagaimana mengelola kelas dengan baik, guru kurang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran dan jiwa kewirausahaan guru juga rendah. Kurangnya pemahaman administrasi sekolah disebabkan banyak guru yang merasa pengetahuannya saat ini sudah cukup, padahal perkembangan telah membawa banyak perubahan yang seharusnya dapat diikuti oleh setiap guru dengan turut serta dalam pelatihan tambahan atau membangun komunitas belajar antar guru. Ini bisa dilakukan para guru sepulang mengajar. Pengetahuan yang kurang itu juga yang membuat model pengajaran monoton dan satu arah. Banyak guru yang tidak memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran, karena merasa sudah berumur sehingga malas belajar tentang teknologi baru. Kurangnya kemauan guru untuk berkembang juga ditunjukkan dengan minimnya jiwa kewirausahaan.
Selain soal perilaku guru, hal lain yang juga mendera guru saat ini adalah tentang kesejahteraan. Beberapa waktu lalu banyak guru yang datang ke Jakarta minta untuk dijadikan sebagai PNS setelah lama menjadi honorer. Bertahun-tahun mengabdi, namun tak juga mendapatkan reali- sasi atas janji-janji sebelumnya. Masalah ini jika terus dibiarkan akan menggangu capaian tugas yang bersangkutan.
Kesejahteraan guru di Indonesia memang menjadi masalah pelik, terlebih saat moratorium pengangkatan guru, yang membuat banyak guru honorer di sekolah-sekolah dengan standar pengangkatannya yang beragam. Kualifikasi para guru pun beragam, ada lulusan S1, D4, ada yang mengajar sesuai jurusannya ada pula yang tidak. Namun tentunya bagi mereka para insan cendekia yang telah meniatkan diri untuk mengabdi, tantangan itu tidak menyurutkan langkah untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas pengajaran. Guru adalah profesi mulia, perilaku bekerja melebihi tugas pokoknya sangat dekat dengan jati diri dan kewajiban seorang guru. Sebagai pribadi yang terdidik, guru tidak hanya bekerja untuk mendapatkan gaji, tetapi juga memiliki tugas mulia untuk mencerdaskan anak bangsa.
Hal mendesak ditujukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dituntut melakukan langkah konkret dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi guru dengan membuat pemetaan standar guru di Indonesia. Berbagai pelatihan harus terus diberikan termasuk pelatihan mengajar sesuai dengan perkembangan zaman dengan pemanfaatan teknologi. Kegiatan pemberdayaan untuk semua guru hingga ke pelosok, karena dengan makin meningkatkan kualitas guru maka kualitas pendidikan akan juga meningkat.
Jika hari ini soal wacana ganti kurikulum masih membuat resah, atau lebih jauh lagi soal tantangan pendidikan di era disrupsi saat ini, namun di tangan guru-guru andal, tidak ada satu hal yang akan mengkhawatirkan. Pendidikan sebagai salah satu faktor sosial terpenting harus tercermin dari kebijakan yang diambil Pemerintah Pusat, juga Pemerintah Daerah. Kebijakan yang muliakan guru untuk Indonesia Maju.
Dr Adjat Wiratma
Direktur Akademi Indonesia Sekolah Darurat Kartini
What's Your Reaction?