Apa itu Digital Native? Mengapa Mau Tak Mau Guru Harus Adaptiif?

Kemajuan teknologi informasi saat ini mengakibatkan terjadinya perubahan pada kondisi pembelajaran dan sudah menjadi hal yang biasa bahwa siswa belajar dengan bantuan teknologi.
Namun sayangnya menurut hasil riset digital GFK (Gesellschaft Fur Konsumforschung) bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 9 jam pengunaan gawai dalam satu hari hanya untuk gaming atau hal lain yang tak produktif, bukan untuk menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat.
Macam-macam Generasi
- Generasi Baby Boomer (lahir antara 1945 dan 1965), Generasi ini cenderung bekerja keras dan sangat berkomitmen pada pekerjaan.
- Generasi X (lahir antara 1965 dan 1979), Generasi X nyaman dengan otoritas dan menganggap keseimbangan antara kerja dan kehidupan sebagai hal penting.
- Generasi Milenial (lahir antara 1980 dan 1995), Disebut juga Generasi Y, mereka tidak hanya mengenal permainan tradisional, tetapi juga akrab dengan teknologi digital karena masa kecil mereka adalah masa transisi.
- Generasi Z (lahir setelah tahun 1995-2011), Generasi ini cenderung merasa kehilangan arah jika terputus dari koneksi dengan dunia luar, dan mereka merasa hidup begitu membosankan tanpa adanya gawai.
- Generasi Alpha (lahir setelah tahun 2011), Generasi Alpha akan menjadi generasi pertama yang tidak mengenal dunia sebelum media sosial.
Sahabat ada di generasi mana? Peserta didik ada di generasi mana?
Apa Itu Digital Native?
Digital native merujuk pada mereka yang lahir dan tumbuh di era digital, yang terbiasa berinteraksi dengan teknologi sejak usia dini. Generasi ini akrab dengan istilah-istilah dalam dunia digital. Generasi native digital ini bukan berarti mereka memahami pemrograman komputer. Mereka hanya cenderung lebih mudah dalam memahami teknologi, karena sering melakukan interaksi dan memberikan reaksi terhadapnya.
Sedangkan Digital immigrant merupakan istilah atau sebutan pada suatu generasi yang lahir, tumbuh dan dewasa sebelum adanya era digitalisasi.
Digital Native (Siswa) VS Digital Immigrant (Guru)
Sebagai imigran digital, para guru seringkali mengalami kesulitan dalam mentransfer ilmu kepada digital native, khususnya yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi digital. Teknologi terkadang membuat para guru merasa frustasi dan merasa rumit untuk dilakukan, sehingga mereka sulit untuk beradaptasi.
Perbedaan pandangan antara digital native dan digital immigrant bisa menimbulkan ketidakpahaman. Namun, dengan komunikasi dan kolaborasi yang baik, dinamika tim yang efektif bisa terwujud.
Literasi Rendah
Ancaman yang mengerikan adalah ketidakseimbangan antara kecerdasan dan pengetahuan generasi digital native dalam menggunakan telepon pintar. Tingkat literasi digital di Indonesia hanya sebesar 62%, yang merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN.
selain itu menurut Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia memiliki tingkat literasi rendah dan berada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei.
Bayangkan, generasi ini cenderung minim pengetahuan, malas membaca buku, namun sangat suka menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar gadget, terutama di media sosial. Tak heran jika Indonesia rentan menjadi sasaran informasi provokatif, hoaks, dan fitnah.
Ancaman Didepan Mata
Perkembangan teknologi internet dan media sosial telah melahirkan aktivitas membuat konten yang tidak hanya menjadi hobi produktif, tetapi juga menjadi komoditas bernilai ekonomi.
Namun, perlu waspada! Fenomena ini telah menciptakan tren mengemis online dan kemudahan mencari uang secara instan melalui konten, tanpa memperhatikan nilai edukasi yang ada dalam konten yang mereka buat.
Peran Guru
Mengajar generasi digital native membutuhkan pendekatan yang berbeda. Metode penyampaian dan kemasan materi tradisional seperti ceramah saja sudah tidak relevan. Siswa memerlukan lingkungan belajar yang kaya akan media. Media berbasis teknologi tidak hanya menarik perhatian siswa, tetapi juga dapat mengubah cara siswa memproses informasi.
Guru yang mengajar generasi digital native tidak hanya menjadi satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar, tetapi juga menjadi fasilitator yang mendorong perkembangan empati, keterampilan berpikir kritis, dan menjadi pemecah masalah dalam kehidupan mereka.
Sejatinya, dalam menghadapi perkembangan teknologi, guru adalah teladan yang memberikan pembelajaran holistik. Mereka mengajarkan nilai-nilai penting seperti empati, integritas, kritis berpikir, dan kecakapan digital kepada siswa.
Perangkat digital yang ada idealnya memang mampu menunjang berbagai proses belajar yang lebih efektif dan interaktif. Namun faktanya tidak selalu begitu. Masih banyak guru yang kurang adaptif sehingga lebih memilih untuk menerapkan metode belajar mengajar yang kuno serta kurang menarik. Yang terjadi, para siswa sangat sulit untuk mengerti materi pembelajaran yang disampaikan.
What's Your Reaction?






