Guru dan Revolusi Digital
Banyak kalangan mengatakan bahwa saat ini kita hidup di fase awal Revolusi Industri Keempat. Pendiri dan sekaligus Executive Chairman World Economic Forum ( WEF), Klaus Schwab (2016), melihat bahwa revolusi industri keempat ini mengubah secara radikal cara hidup, bekerja dan berinteraksi manusia. Revolusi industri sebelumnya membebaskan manusia dari kekuatan hewan, memungkinkan produksi massal serta membawa kemampuan digital ke miliaran orang. Revolusi industri keempat ini berbeda dibanding situasi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan berbagai teknologi baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis, mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri, dan pendidikan, bahkan ide-ide yang menantang tentang apa artinya menjadi manusia.
Inovasi teknologi mutakhir seperti komputer super, robotik, artificial intelligence, 3DPrinting, teknologi nano, dan bioteknologi, mempercepat revolusi industri keempat menjadi kenyataan. Kemajuan ini berdampak sangat besar bagi kehidupan manusia dalam segala bidang. Bukan hanya dalam dunia industri, bisnis, kesehatan, transportasi dan komunikasi, tapi juga dalam dunia pendidikan. Kemunculan bisnis berbasis aplikasi digital seperti Grab dan Gojek, misalnya, bukan hanya mengubah cara masyarakat melakukan mobilitas, tapi juga berdampak mengganggu (disrupt) bisnis moda transportasi konvensional seperti taksi dan ojek pangkalan. Gojek bukan hanya sekadar jasa transportasi, tapi juga menyediakan pelayanaan lainnya seperti pengantaran pemijatan, belanja dan lain sebagainya.
Dalam konteks pendidikan, muncul fenomena Massive Open Online Course (MOOC) disediakan oleh kampus-kampus terbaik dunia di Amerika Serikat, seperti Massachussett Institute of Technology (MIT), Stanford University, Harvard University dan lainnya. Tanpa harus datang ke kampus-kampus tersebut, orang di seluruh dunia dapat mengikuti kegiatan perkuliahan. Selain kampus, penyelenggara mandiri seperti ed-X, Future Learn, Udemy, Coursera, Educity menawarkan berbagai macam program kuliah yang sangat variatif yang dapat diikuti siapa pun. Dalam bentuk paling sederhananya, setiap orang dapat mengikuti kuliah, ceramah ilmiah, serta pengajaran via Youtube atau Facebook secara daring. Melalui google, semua orang dapat mengajukan pertanyaan dalam segala, dan hampir semua jawabannya tersedia di sana. Google ibarat kantong ajaib Doraemon.
Melalui komputer dan smartphone, guru dan murid dapat mengakses berbagai macam informasi dan materi pembelajaran. Saat ini situs-situs internet atau aplikasi terkait materi sekolah tersedia secara luas. Mulai materi pembelajaran tingkat SD hingga SMA/SMK bagi guru maupun murid tersedia di berbagai portal dan aplikasi digital.
Fenomena di atas merupakan gambaran singkat perubahan yang kita hadapi akibat inovasi teknologi di era revolusi industri keempat. Semua kalangan, baik pemerintah, pebisnis, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus merespons serta beradaptasi secara cepat dan tepat terhadap perubahan ini. Termasuk di dalamnya para guru yang mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan mengajar para siswa agar siap menghadapi tantangan yang muncul dari revolusi yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Kemajuan teknologi bukan hanya melahirkan akibat yang diinginkan (intended consequences), tapi juga memiliki dampak yang tidak diinginkan (untintended consequences) dalam perkembangannya. Smartphone, misalnya, mempermudah kita beraktivitas sehari-hari, baik dalam hal komunikasi, kerja, belajar, mobilitas dan lain sebagai nya. Melalui sebuah handphone yang berukuran segenggaman tangan, kita dapat melakukan dan menyelesaikan berbagai macam aktivitas tanpa di batasi jarak dan waktu. Melalui telpon pintar yang terkoneksi internet dunia terasa berada di genggaman tangan.
Semua manusia di berbagai belahan dunia mau tidak mau mesti beradaptasi dengan perubahan diatas. Para guru suka tidak suka dituntut untuk menjadi bagian dari aktor strategis ini. Para pendidik tidak hanya sekadar menjadi penggembira tapi juga mampu menangkap peluang, tantangan serta memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk kemajuan pendidikan. Terus belajar meningkatkan kemampuan digital literacy tanpa henti. Menjadikan teknologi digital sebagai sarana meningkatkan kapasitas profesi yang selama ini mereka geluti.
Dengan internet, mempermudah mereka mengakses sumber-sumber pengetahuan baru di berbagai situs internet. Mereka juga dapat memanfaatkan media sosial untuk bekerja sama dan kolaborasi di antara para guru. Memperkuat tradisi tulis, publikasi, belajar bahasa asing, serta promosi dan berbagai pengetahuan melalui media sosial. Bukan hanya sekadar mengonsumsi, tapi guru juga ikut mewarnai dan memproduksi pengetahuan, serta mengaktualisasikan ide dan gagasan melalui tulisan di ruang maya.
Meskipun demikian, muncul unintended consequences dari perkembangan penggunaan media sosial. Berbagai macam informasi bertaburan dan berseliweran muncul di ruang digital, termasuk berbagai macam berita bohong dan tulisan provokatif adu domba.
Tanpa kehati-hatian dan berpikir kritis, para guru bisa terjebak dalam pusaran surplus informasi yang bermunculan, baik di berbagai situs internet maupun di jejaring media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Whatsapp Group. Tanpa dilandasi cara berpikir kritis, kita dapat terjebak mengonsumsi dan menyebarluaskan berita hoaks (bohong). Bahkan bisa juga menyampaikan kepada para kolega dan murid yang mereka temui dalam interaksi sehari-hari. Di sinilah diperlukan kesadaran kritis, kehati-hatian dalam memilah dan memilih sumber informasi yang kredibel. Itu pun tidak cukup, perlu membandingkan, serta merefleksikan sebelum mengambil dan membagi kepada yang lain.
Sikap kritis terhadap efek samping di era digital ini juga perlu menjadi kesadaran kolektif di antara para pendidik. Mereka mempunyai tanggung jawab untuk melakukan edukasi tentang dunia yang terus berubah, baik diantara sesama kolega, murid, serta masyarakat. Selain mengedukasi, mereka juga dapa belajar dari sesama kolega dan murid, secara timbal-balik tentang kemampuan digital (digital skills) yang terus berkembang. Tanpa harus malu, guru juga dapat belajar dari murid yang merupakan digital native untuk memperoleh manfaat bersama dari belantara dunia maya.
Banyak orang mengatakan bahwa ke depan, dan mungkin juga saat ini, peran dan fungsi guru sudah mulai tergusur oleh berbagai macam inovasi di dunia digital, seperti google, youtube atau sumber-sumber lainnya di dunia maya. Mungkin
Peran dan fungsi guru di era digital juga masih sangat relevan dan penting. Bahwa mereka menjadi subjek perubahan dan panutan, digugu lan ditiru, khususnya dalam menghadapi revolusi digital untuk menebarkan kebajikan dan keteladanan. Peran guru sebagai teladan akan terus relevan, karena keteladanan adalah esensi dari proses pendidikan.
Moh. Mudzakkir
Penulis adalah Dosen Program Studi Sosiologi
Universitas Negeri Surabaya
What's Your Reaction?