Inilah Dinamika Digital Learning Culture yang Harus Dipahami Guru
Sebagai Tokoh Pendidikan dan Ketua Yayasan Sukma, Dr. Ahmad Baidhowi AR hadir pada rangkaian webinar pendidikan dengan tema “Mewujudkan Guru Cakap Bermedia Digital, Cakap Numerasi, dan Berkarakter dalam Menghadapi Tantangan Global”. Guru-guru di Kabupaten Simalungun mengikuti webinar pendidikan daring yang diselenggarakan melalui Zoom dan YouTube SahabatGuru.
Ahmad Baidhowi menyampaikan dinamika digital learning culture. Menurutnya, situasi pandemi memaksa para guru dan pelaku pendidikan berusaha keras menciptakan “budaya belajar” yang digital dengan menggunakan informasi dan teknologi daring. Solusinya yaitu budaya belajar secara digital harus dilihat sebagai usaha ensure successful integration of technology for student learning. Guru bisa mengintegrasikan dengan teknik yang ia gunakan sebelum masa pandemi dengan teknik yang bisa digunakan di masa pandemi ini.
“Mungkin ada sebagian guru yang tidak terlalu kaget dengan pembelajaran daring karena sudah menguasai teknologi. Akan tetapi, banyak juga guru-guru yang kaget karena sama sekali tidak menguasai teknologi,” jelas Ahmad Baidhowi.
Digital learning culture merupakan kesempatan emas bagi guru saat ini agar bisa lebih mencairkan atmorfer pembelajaran. Ada banyak platform untuk siswa lebih bebas mengekspresikan ide dan pengetahuannya. Oleh karena itu, inilah tiga peluang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, memprioritaskan, mengolaborasikan, dan mengomunikasikan antara guru, staf, dan orang tua. Kedua, menciptakan pembelajaran digital yang inovatif. Ketiga, mengembangkan pola belajar dan mengajar yang lebih cair karena berdasarkan hasil kerja sama dan kesepakatan. Inilah yang jadi tanggung jawab bersama.
Ada tiga poin yang mencerminkan arah tantangan masa depan. Pertama, familiar dengan sistem platform. Hampir semua kegiatan saat ini sudah terintegrasi dengan platform demi memudahkan segala akses. Kedua, adanya literasi digital. Salah satu penanda jika literasi digital seseorang bertambah baik yaitu dengan mengenal etika saat bermedia sosial. Ketiga, 63% ingin menghabiskan waktu untuk belajar dan merealisasikan teknologi di ruang kelas.
Lalu, ada enam tren dalam pembelajaran digital, seperti personalisasi yang lebih individual; artificial intelligence (peluang di masa depan saat pembelajaran tidak lagi memerlukan manusia sebagai guru); augmented reality, virtual rality, dan mixed reality; lingkungan pembelajaran modern; perangkat ruang kelas; dan gamification.
Menurut Ahmad Baidhowi, ada SAMR model yang mencerminkan tingkatan guru memberikan pembelajaran pada siswa. Model ini bertujuan untuk mengetahui tingkat mana seorang guru memanfaatkan device dalam pembelajaran.
“Pertama, level substitution, penggunaan teknologi untuk mengganti pembelajaran luring. Berarti, guru hanya mengganti perangkatnya saja, tanpa adanya inovasi atau penyesuaian yang lebih kreatif. Kedua, level augmentation, penggunaan teknologi yang dikombinasikan dengan platform dan merancang fungsi improvisasi. Pada level ini berarti guru sudah mempertimbangkan keefektifan belajar siswa. Pembagian waktu/timeline untuk belajar daring sangat dipertimbangkan agar lebih efektif. Ketiga, level modification, penggunaan teknologi untuk memodifikasi konsep tugas. Selain mengefektifkan waktu, guru sudah bisa menguasai teknologi/platform lebih dari lima. Platform dan media belajar itu dimanfaatkan secara maksimal demi mendukung situasi pembelajaran agar lebih menarik. Keempat, level redefinition (tertinggi), pemanfaatan teknologi yang diciptakan untuk melahirkan pola pembelajaran yang baru,” jelas Ahmad.
Ahmad berpesan agar model SAMR ini digunakan oleh Bupati Simalungun melalui Dinas Pendidikan untuk mengevaluasi dan menyupervisi sampai di mana digital literasi para guru-guru di Simalungun. Di Yayasan Sukma, Beliau juga mengimbau dan mendorong para guru untuk mampu menguasai minimal sepuluh media daring sebagai tools pembelajaran sekolah.
ANIS SAFITRI
What's Your Reaction?