Literasi dan Martabat Bangsa
Membincangkan terus menerus urusan literasi bukan berarti kita mengalami involusi di dalam ihwal keaksaraan (melek huruf). Literasi yang telah diterima secara luas dalam lima tahun terakhir ini bukan sekadar urusan kemampuan membaca dan menulis, tetapi telah dipahami sebagai segala urusan hidup manusia itu sendiri. Dengan demikian, kata literasi telah diperkuat, diperkaya, dan diberdayakan oleh bangsa ini sedemikian kuat dan intensifnya.
Betapa tidak. Setiap waktu kita lihat kabar bahwa anakanak muda, guru, pelajar, dan sukarelawan tengah merayakan pengetahuan ke jalanan, membuka ruangruang diskursus secara inklusif. Ribuan orang terlibat menggerakkan bukubuku melalui berbagai komunitas: pustaka bergerak, forum taman baca, serikat taman pustaka, rumah baca, dan sebagainya. Ketika perpustakaan daerah atau milik pemerintah jam telah tutup, ada ribuan simpul dan rumpun pustaka dibuka secara mandiri. Situasi ini diapresiasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy: “Ada gairah yang tumbuh dari bawah. Kesadaran untuk berbagi. Ini adalah kekuatan karena kalau kita mengandalkan negara saja untuk gerakan literasi itu sangat berat.”
Tepat sekali, bahwa ada gerakan-gerakan literasi (filantropi literasi) luar biasa yang dimotori anakanak bangsa ini tengah menjalar di semua sudut republik. Pemerintah kali ini cukup baik dengan memberikan fasilitas free cargo literacy untuk pengiriman buku gratis setiap tanggal 17 tiap bulan dimulai sejak Mei 2016 silam. Kehadiran negara dalam urusan literasi kerakyatan ini pantas disebut sebagai sebuah terobosan penting.
Di era teknologi informasi dan zaman ‘dunia tunggang langgang’ (meminjam istilah Anthony Giddens) ada keterdesakan kebutuhan manusia untuk juga memiliki kapasitas dalam urusan literasi informasi (melek media) dan melek wacana di dalam kehidupan yang dipimpin abad pengetahuan ini. Kesungguhan dalam mengurus dan membangun peradaban literasi menjadi penanda bahwa masyarakat kita sedang bekerja untuk menyongsong era gemilang, dan mengakhiri fase kehidupan manusia yang dangkal, tak bermakna dan tumpul di dalam membangun pengetahuan reflektif dan emansipatif.
Bagaimana itu dapat dimulai, atau itu semua dimulai dari mana? Inilah pertanyaan yang hendak didiskusikan dalam artikel pendek ini.
Jika gerakan literasi telah diimani akan mengubah takdir bangsa dan menyelamatkan rakyat kita, maka setidaknya ada empat urusan yang mendesak untuk dijadikan bagian dari agenda bangsa yaitu; Pertama, menciptakan pendidikan etis secara berjamaah yang dapat menumbuhsuburkan idelogi massa (ummat) untuk mencintai dan menghargai pengetahuan. Sebagai contoh, tafsir progresif saya mengenai surat perintah Iqro’ dalam Al Quran mendorong keyakinan bahwa membaca (menjadi literated) adalah manifestasi dari keimanan sejati seorang muslim.
Setiap khalifah, dengan demikian, punya tanggung jawab menggerakkan habitus literasi di dalam dirinya, keluarganya, dan bangsanya. Membaca bukan hanya kepentingan pragmatis jangka pendek karena tuntutan hidup, tetapi harus diperkuat dengan “teologi iqro’” yang aplikatif dan bernilai tinggi kepada dimensi kehidupan akhirat. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan untuk membentuk dan mengorganisasi pikiran maju.
Kedua, memperkuat barisan kelompok dan komunitas penggerak literasi. Harus diakui, kehadiran ribuan komunitas literasi kini kian menjamur di negeri ini. Anggapan bahwa bangsa ini memiliki minat baca rendah semakin memuai dan semakin kurang relevan. Keberadaan komunitaskomunitas literasi yang sebagian juga dimotori guruguru, mahasiswa, dan aktivis sosial lainnya itu menandakan bahwa kini orangorang mulai lebih senang menjadi bagian dari cahaya di tengah kegelapan ketimbang menjadi sebagai kutuk keadaan. Anakanak muda lebih merasa keren menjadi bagian dari solusi ketimbang terusmenerus menganggap dan menyalahkan pihak lain.
Ketiga, pilar yang tidak kalah penting adalah menggiatkan dan memperkuat filantropi literasi (filanterasi) di mana gerakan wakaf buku, mendonasikan buku, menyumbangkan apa saja yang berguna untuk gerakan literasi sebagai gairah baru di masyarakat. Telah banyak komunitas donator dana atau dermawan buku, lembaga zakat atau penerbit, yang akhirakhir ini melibatkan diri untuk menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur literasi. Salah satu tantangan besarnya adalah bagaimana menghadirkan buku berkualitas ke seluruh penjuru tanah air. Hal yang disayangkan, dukungan dunia perguruan tinggi, kementerian dan perusahaan relatif masih lemah dalam urusan ini. Padahal, program Kuliah Kerja Nyata bertemakan gerakan literasi pelanpelan makin tumbuh di beberapa lokasi.
Keempat, membangun sinergisitas antarkelompok penggerak literasi. Ada kekuatan besar yang dapat difasilitasi dengan tujuan yang sama. Pemerintah seharusnya mengukuhkan kehadirannya serta mendorong gerakan kebudayaan literasi ini agar mengalami akselerasi secepatnya. Sebab, kita tahu ada tantangan besar terkait daya saing bangsa, ada ketertinggalan di bidang kapasitas mengelola sumber daya alam, dan seterusnya. Catatan dalam hal ini adalah ketimpangan antara populasi penduduk dan ketersediaan buku yang ada di Indonesia. Kenyataan ini benarbenar harus dicarikan jalan keluarnya secara politik. Kita butuh politik etis untuk penguatan literasi.
Kepala Perpustakaan Nasional, Syarif Bando, pernah menyampaikan bahwa di Indonesia, satu buku diantre lima belas ribu orang. Bagaimana ini harus diatasi? Politik etis itu harus berani secara radikal menggulirkan kebijakan: bahwa subsidi atau anggaran untuk pembangunan literasi tidak kalah penting dibanding pembangunan infrastruktur atau belanja militer. Sebab, bagaimanapun, penyelenggaraan urusan literasi adalah tugas semua orang sehingga perlu mendayagunakan kekuatan negara untuk mewujudkan ambisi bersama menjadi bangsa yang dipimpin pengetahuan dan berkarakter kuat.
Kerja literasi adalah aktivitas sepanjang hidup untuk memperbaiki keadaan baik alam pikir, alam batin, dan alam penghidupan manusia. Gerakan ini menuntut banyak pegiatnya untuk secara tulus menjadi relawan seumur hidup di dalam pengabdiannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan urusan literasi adalah pekerjaan radikal untuk transformasi sosial. Pekerjaan literasi tidak pernah hanya urusan buku dan rak buku saja akan tetapi gerakan literasi haruslah menjadi gerakan semesta, melibatkan sebesarbesarnya energi bangsa karena ini semua jelas arah tembaknya: menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran total.
Tanpa itu semua, pekerjaan literasi akan sulit untuk menjemput takdirnya sebagai pengantar bangsa yang berdaulat, adil, sejahtera. Karena itu, wahai para pegiat literasi, bersatulah untuk bekerja keras serta menjadikan bangsa ini kuat dan bermartabat!
David Efendi, S.IP., MA
Penulis adalah seorang pegiat literasi Majelis Pustaka Indonesia Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus ketua Serikat Taman Pustaka
What's Your Reaction?