Menanam Karakter Mulia Lewat Matematika
Tugas seorang guru adalah merancang dan mengelola pembelajaran di dalam kelas, bukan hanya untuk mentransfer ilmu, tetapi mendidik dan mengembangkan karakter dan kepribadian siswa. Seorang guru perlu berpikir bagaimana menyampaikan sebuah pesan moral yang nantinya akan terekam oleh siswa sebagai sebuah kesadaran pribadi, yang nantinya muncul di dalam kebiasaan siswa sehari hari.
Apakah mungkin hal ini dilaksanakan dalam pembelajaran Matematika? Bukankah Matematika identik dengan simbol, variabel, rumus, algoritma dan lain sebagainya yang tidak berhubungan sama sekali dengan nilai-nilai moral? Pertanyaan ini sering menjadi alibi seorang guru Matematika untuk tidak mengembangkan pendidikan karakter di dalam kelasnya. Apalagi ketika harus dihubungkan dengan materi matematika. Materi yang mana? Di sini penulis berbagi pengalaman yang mungkin bisa dicoba untuk dikembangkan oleh sesama guru Matematika dan memperkaya ide-ide dalam menyampaikan pendidikan karakter kepada para siswa.
Menanamkan pendidikan karakter pada kegiatan pendahuluan. Sebelum kegiatan inti, pasti ada kegiatan pendahuluan. Salah satu kegiatan yang harus ada adalah pemberian motivasi. Sebelum masuk pada penyampaian materi, penulis memberi motivasi kepada siswa dan menanamkan pendidikan karakter melalui hal-hal berikut:
Menyampaikan kisah inspiratif kepada siswa. Bisa berupa biografi tokoh-tokoh matematika, kisah nyata atau kisah fiktif yang menarik. Di akhir cerita siswa diberi pertanyaan, nilai moral apa yang diperoleh dari kisah tersebut. Contoh kisah inspiratif berikut bisa digunakan sebagai referensi:
Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia. Umurnya bisa mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40. Ketika umurnya 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.
Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang, berhenti dan tinggal di sana selama proses transformasi berlangsung. Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulut- nya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!
Setelah cerita berakhir, ditanyakan kepada siswa pesan moral apa yang didapat. Setelah itu disampaikan pesan moral yang ingin disampaikan kepada siswa. Penulis menggunakan cerita ini untuk menyampaikan pentingnya memiliki komitmen jika ingin menjadi atau meraih sesuatu yang terbaik. Pesan moral yang bisa disampaikan kepada siswa: mau bekerja keras dan tidak mudah menyerah.
Cerita tentang kisah hidup Gauss saat akan mengajarkan Barisan dan Deret Aritmetika mungkin bisa digunakan untuk menanamkan nilai kreatif dan pantang menyerah kepada para siswa.
Johann Gauss adalah seorang jenius dalam aritmetika. Ketika ia berusia 9 tahun, seorang guru menyuruh murid-murid di kelasnya untuk menjumlahkan deretan bilangan 1 + 2 + 3 + ... + 40. Gauss hanya memerlukan waktu beberapa saat saja tanpa menuliskan sesuatu apapun untuk memperoleh jawabannya yaitu 820. Ia mendapat jawaban dalam otaknya dengan menyadari bahwa jumlah itu dapat dipikirkan penyelesaiannya sebagai berikut: (1 + 40) + (2 + 39) + ... + (20 + 21) = 41 + 41 +...+41=41x 20=820.
Ayah Gauss hanyalah seorang tukang batu dan tak sanggup membiayai pendidikan universitas kepadanya. Tetapi raja tertegun pada kemampuan Gauss muda dan raja bersedia membiayai pendidikannya. Kelak Gauss menjadi salah satu ahli matematika terkemuka di dunia. Ia juga banyak meninggalkan karya di bidang astronomi, pengukuran tanah dan elektromagnetisme.
Banyak sekali kisah yang bisa digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter kepada para siswa, dengan harapan para siswa dapat menarik intisari dari kisah-kisah yang disampaikan oleh guru dan pada akhirnya terdorong untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung nilai-nilai moral kepada siswa. Mungkin jawaban berbeda-beda karena setiap anak tumbuh dari pengalaman dan wawasan yang berbeda. Kemudian guru bisa menutupnya dengan menyampaikan nilai karakter atau makna dari kata “konsisten”.
Bahwa kita harus konsisten terhadap apa yang sudah disepakati. Matematika mempunyai banyak lambang yang digunakan secara konsisten. Kekonsistenan dalam Matematika membuat orang yang mempelajarinya bisa memahami arti dari lambang-lambang yang digunakan sekalipun sangat banyak. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hal apapun kita juga harus konsisten. Konsisten dengan aturan, konsisten dengan ucapan, konsisten dengan janji yang dibuat.
Menggunakan materi-materi atau konsep-konsep dalam matematika untuk menanamkan nilai nilai pendidikan karakter.
Pada saat menjelaskan tentang pola bilangan dan deret. Misal: pada barisan 4, 7, 10, 13, ... ditanyakan setelah 13 bilangan berapa, siswa akan menjawab 16. Lanjutkan dengan pertanyaan apakah 19 termasuk suku pada barisan ini? Biasanya siswa akan menjawab cepat termasuk. Kemudian tanyakan apakah 304 termasuk suku pada barisan ini, biasanya siswa akan berhitung terlebih dahulu dan kemudian menjawab ya. Tanyakan bagaimana mereka yakin bahwa 304 adalah suku pada barisan tersebut. Kemudian tanyakan kembali apakah 304 tertulis pada barisan tersebut, pasti semua menjawab tidak. Setelah itu ditanyakan kembali mengapa mereka yakin bahwa 304 adalah suku pada barisan tersebut. Gunakan beberapa jawaban siswa untuk menegaskan bahwa sekalipun 304 tidak dituliskan dalam barisan tersebut tetapi kita bisa yakin bahwa 304 adalah suku dari bilangan tersebut dengan mempelajari sifat dan pola bilangannya. Setelah itu ditanamkan bagaimana kita bisa percaya kepada Tuhan. Meskipun kita tidak melihat wujud-Nya, tetapi kita bisa mempercayai Tuhan dari karya-karya dan ciptaan-Nya.
Contoh lain ketika guru hendak menjelaskan limit pasti guru harus menjelaskan dulu tentang konsep tak terdefinisi dan tak hingga. Dengan tanya jawab siswa mengenal pembagian dengan 0 adalah tak terdefinisi. Kemudian tanamkan bahwa ketika kita tidak pernah berbagi, kita adalah orang-orang yang tidak terdefinisi, tidak memliki arti.
Demikian pengalaman-pengalaman penulis mengelola pendidikan karakter di dalam kelas Matematika. Keberhasilan pendidikan karakter memang tidak bisa langsung dilihat, tidak bisa diukur dengan angka begitu saja. Namun karakter yang tertanam akan berdampak sepanjang hidup siswa.
Ari Mangestoe Juani, M.Pd
Guru Matematika SMA Negeri 22 Surabaya
What's Your Reaction?