INI BUKTINYA! AI BUKANLAH ANCAMAN, TAPI SAHABAT GURU
Beberapa hari yang lalu Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) menghadirkan dosen dalam bentuk Artificial Intelligence (AI). Kabar ini tentu akan ditanggapi beragam oleh masyarakat, mulai dari optimis bahwa AI akan mampu menggantikan peran berbagai profesi termasuk dosen atau guru hingga tanggapan yang pesimis bahwa peran sentral profesi guru tidak dapat digantikan oleh teknologi secanggih apapun itu. Kabar hadirnya inovasi baru dari UTI ini diklaim sebagai dosen AI pertama di Indonesia yang menyajikan pola mengajar dengan berbagai bahasa. Kabar ini tentu harus disikapi secara bijak. Bagi guru meningkatnya kompetensi adalah sebuah keharusan agar peran sentral dan muruahnya tetap terjaga dan kehadirannya di ruang pembelajaran tetap dirindukan oleh peserta didik.
Guru Sahabat Teknologi
Berada di abad serba digital, maka guru dituntut untuk siap bersanding dan bersahabat dengan kemutakhiran teknologi. Teknologi akan terus memutakhirkan dengan temuan-temuan baru yang akan sangat bermafaat dan menunjang kinerja bagi siapa saja, termasuk guru. Guru sejatinya adalah penyampai pesan moral disamping juga memiliki kapasitas professional yakni menyampaikan disiplin ilmu tertentu guna menunjang peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran adalah fase saling menuangkan ide melalui diskusi, menyampaikan pendapat, menemukan hal baru yang terjadi antara guru dan peserta didik. Lazimnya pembelajaran, maka unsur pendidikan harus saling mendukung satu dengan unsur lainnya. Jika sinergi semua unsur pendidikan terjalin, maka tujuan pembelajaran akan dapat terwujud secara sempurna. Sejatinya, arah pendidikan tidak hanya membentuk karakter namun juga membentuk kecerdasan intelektual guna mewarnai kebutuhan zaman.
Saat ini, profil guru dengan mahir mengoperasikan berbagai perangkat teknologi sedang on fire. Hampir di semua sekolah guru yang memiliki keakraban dengan teknologi akan dianggap mumpuni. Oleh karenanya menjadi guru dengan muruah santun, produktif, akrab teknologi akan mampu menampilkan eksistensi di tengah derasnya arus teknologi informasi.
Hampir dua bulan ini, masyarakat dunia dihebohkan dengan rilisnya perangkat ChatGPT. Perangkat ini menawarkan berbagai bentuk kemudahan dalam menyelesaikan perihal sesuai dengan keinginan pengguna atau dalam bahasa teknologi diistilahkan dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Sebenarnya, kecerdasan buatan bukan hal baru dalam ikhwal teknologi. Bahkan sejak tahun 1955, John McCarthy telah menciptakan istilah Artificial Intelligence, yang dia usulkan dalam konferensi Dartmouth yang terkenal pada tahun 1956. Konferensi ini dihadiri oleh 10 ilmuwan komputer, John McCarthy mengeksplorasi cara-cara di mana mesin dapat belajar dan bernalar seperti manusia. Melihat fakta ini, maka sudah sejaklama kecerdasan buatan hadir mewarnai dan memberikan kemudahan bagi manusia. Namun yang perlu diingat kecerdasan buatan tetaplah rekayasa teknologi yang pasti memiliki titik batas akurasi penggunaannya.
Rilisnya ChatGPT dan provider AI lainnya (BasedAI, Erni BOT, Bard dan lain-lain) membuat kekhawatiran berbagai pihak, termasuk perusahaan raksasa sekelas Google. Jika kita melihat kemudahan yang ditawarkan, maka akan sangat memudahkan siapa saja bahkan kabarnya ChatGPT mampu menuntaskan soal ujian masuk perguruan tinggi ternama. Kekhawatiran Google tentu sangat beralasan. Derasnya arus informasi yang selama ini identik dengan “klik google” akan sedikit bergeser pada pendatang baru yang menawarkan akurasi atas nama kemudahan. Kekhawatiran lain adalah ancaman serius tentang peran guru yang juga akan tergeser oleh kecerdasan buatan. Ancaman serius justru berada pada rendahnya kreativitas peserta didik yang akan mengalami ketergantungan dalam menuntaskan penugasan jika sekolah kurang siasat dalam meminimalisir penggunaan perangkat media. Ini wajar, saat ini saja jika kita melihat perjalanan PJJ selama pandemi sangat membekas dalam pemahaman peserta didik yang seolah semua akan menjadi mudah dengan perangkat teknologi. Kabar tentang CEO dan petinggi perusahaan di beberapa Negara telah memakai jasa robot yang sudah disetting sesuai kebutuhan masing-masing bukan isapan jempol bahkan pemberitannya sangat massif diberbagai media. ini secara langsung akan sangat mempengaruhi prikologis masyarakat yang seolahsemua hal akan digeser oleh kemutakhiran atas nama teknologi. Boleh jadi peran CEO, pramusaji, pemandu wisata, customer service akan dapat diperankan oleh kecerdasan buatan namun kehadiran guru dengan muruah ketawadhuan akan tetap dirindukan peserta didik sampai kapanpun.
Keyakinan ini harus terus kita serukan karena sampai saat ini peran guru memang sangat krusial apalagi kita berada di Negara yang sangat menjunjung tinggi peran sentral guru dalam ruang pembelajaran. Guru dengan ragam kompetensi harus terpatri, harus terus menjaga muruah keguruannya agar potensi sebagai penyampai disiplin ilmu dan pembentuk karakter peserta didik akan terus dirindukan oleh masyarakat.
Guru dengan karakteristiknya telah menunjukkan eksitensinya sebagai profesi yang mengajarkan betapa mulianya seseorang dengan bekal intelektual. Intelektual bagi guru adalah modal dasar agar kemampuandalam mengelola kelas benar-benar menjadi seni yang mengagumkan dan dirindukan oleh peserta didik. Guru dengan totalitas disiplin keilmuannya yang ditopang dengan penguasaan teknologi akan mampu bersanding dengan kecerdasan buatan.
Kecerdasan buatan yang semakin hari semakin mewarnai kebutuhan manusia modern, namun berbekal kecerdasan spiritual, disiplin ilmu, ketawadhuan akan mampu mengimbangi kecerdasan buatan yang dianggap menjadi ancaman serius bagi guru. Dengan berada pada fase ini maka muruah guru akan tetap terjaga dan kehadiran guru serta fatwa sucinya juga akan tetap ditunggu oleh peserta didik.
Ariyadi, S.Pd.I
Penulis adalah
SMA Islam Al Azhar 15 Kalibanteng Semarang
What's Your Reaction?