Santri dan nasionalisme
Santri merupakan kata lain dari Siswa, yang juga merupakan aset dan generasi bagi bangsa ini
1. Santri dan Nasionalime
SANTRI DAN NASIONALISME: NASIONALISME SANTRI ASET NEGARA
Dalam menghadapi era globasisasi memang sangat menarik jika mengulas tentang nasionalisme santri, dari sini dapat dirumuskan jiwa nasionalisme yang dapat dijadikan sebuah aset yang sangat penting dari adanya dampak globalisasi dalam arena lokal. Premis mengenai jiwa nasionalisme yang dimiliki santri kekinian atau santri klasik (salaf) menarik untuk dielaborasi dengan berbagai alasan diantaranya:
- Globalisasi telah menimbulkan adanya deteretorialisasi terhadap negara/bangsa dan interaksi yang masif.
- Melemahnya kadar nasionalisme di tingkat negara/bangsa. Dua premis penting tersebut memang harus diperhatikan lebih lanjut sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan globalisasi dalam ranah lokal.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, meskipun tidak diketahui dan tidak ada kejelasan kapan berdirinya namun pada abad ke 17 pesantren terdeteksi berada di tanah jawa yang didirikan oleh wali songo (Sunan Maulana Malik Ibrahim). Pesantren merupakan tempat mentransfer ilmu agama islam yang murni dan penyebarannya pun secara persuasif dan kultural sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Kehadiran dan berkembangnya pondok pesantren di Indonesia yang sangat pesat menjadi momok menakutkan bagi penjajah, sebab pesantren dijadikan benteng untuk mengusir para penjajah. Pembuktian pesantren akan kecintaannya pada tanah air, tercatat jumlah pesantren dan ulama yang mengorbankan perasaan, fikiran, dan tenaga demi kemerdekaan Ibu Pertiwi. Di balik semua itu, para ulama menyuntikkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada santri-santrinya sehingga tidak sedikit dari kalangan santri kala itu yang menjadi pahlawan nasional.
Nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham ajaran untuk mencintai negara sendiri. Melihat dari pengertiannya ideologi disini didasari oleh kaidah bahwa kemaslahatan umat harus didahulukan dibandingkan kemaslahatan tertentu, cinta tanah air (hubbul wathan) merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menuju kesejahteraan suatu bangsa. Dengan bercengkerama dengan ideologi nasionalisme, seseorang tidak akan melakukan suatu tindakan yang bisa berakibat pada kerugian bangsanya dan masyarakat umum, lebih-lebih dapat mengkonstruk segala hal-hal yang bisa memberikan suatu kebaikan pada bangsanya. Suatu keharusan bagi umat islam untuk mencintai dan membela tanah airnya sendiri dan itu pun merupakan kode etik agama islam yang harus ditaati oleh umat. Dalam masalah kecintaan kepada tanah air pesantren telah mencetak santri-santri yang hubbul wathan sampai-sampai mereka berani bersimbah darah melawan penjajah demi kemaslahatan umat dan bangsa.
SELAYANG PANDANG NASIONALISME SANTRI
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia fakta telah menuliskan bahwa nama “santri” tidak dapat dihapuskan, diakui maupun tidak eksistensinya, santri mempunyai sejarah perjuangan untuk memerdekakan bumi pertiwi ini. Memang banyak perdebatan bahkan pertentangan akan kiprah santri dalam menorehkan sejarah. Mereka berjihad dengan para ulama yang mempunyai cita-cita untuk merebut kemerdekaan dari tangan-tangan laknat kolonialisme, hal tersebut bertepatan pada tanggal 22 Oktober 1945 yang dimotori oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari. Dan sejarah juga menorehkan catatan penting bahwa pada tanggal yang sama para Ulama-Ulama NU berkumpul di kantor Pengurus Besar Ansor yang berlokasikan di Jalan Buduran VI No. 2 Surabaya untuk mencetuskan fatwa Rosulusi Jihad. Namun disisi lain, hal yang senada juga merupakan jawaban atas pertanyaan dari sang Proklamator kepada KH. Hasyim Asy`ari yang berkaitan tentang bagaimana hukumnya jika ada kaum muslimin gugur dalam medan jihad untuk membela Bangsanya. Untuk menindak lanjuti tersebut, akhirnya KH. Hasyim Asy`ari melontarkan seruan untuk berjuang demi kemerdekaan Bumi Pertiwi adalah jihad fii sabilillah.Adapun isi dari Resolusi Jihad sebagai berikut:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
- Musuh republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
- Umat Islam terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
- Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu `ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama` dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Dari kelima butir Resolusi Jihad di atas dapat kita ketahui bersama hal tersebut telah tergambarkan bahwa ulama dan para santri telah menorehkan sejarah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun disisi lain ada beberapa bukti fisik jasa dari ulama dan para santri yaitu mereka berjihad menggunakan senjata yang seadanya yaitu dengan bambu runcing dan dibekali dengan beberapa biji kacang hijau dan jagung, yang konon katanya apabila biji-bijian tersebut dilemparkan pada tentara penjajah akan menjadi peluru yang dapat membombardir bahkan bisa memporak porandakan tentara penjajah. Dari hal tersebut mengingatkan bahwa ulama dan para santri berjihad serta berusaha keras untuk melepaskan diri dari para penjajah membutuhkan usaha dan kesiapan lahir dan batin. Umat Islam tidak akan bisa menjalankan syariat Islam dengan maksimal jika bangsa Indonesia tidak merdeka, tutur Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari.
Hal yang senada juga dilontarkan oleh KH. A. Mustofa Bisri, bahwasanya Mbah Hasyim merupakan Maha Kyai sekaligus pejuang kemerdekaan karena kedalaman ilmu dan kesawaban ajarannya. Mbah Hasyim sendiri mempunyai kapasitas sebagai penjaga gawang untuk mengkawal masyarakat pribumi dalam faham ahlussunah wal jama`ah, beliau telah memberikan kontribusi besar dalam pemikiran tentang keislaman, sehingga banyak umat dan penduduk pribumi yang terselamatkan dari cara pandang hitam-putih yang berlangsung dalam beberapa dekade terakhir ini menyelimuti keberagaman bangsa ini.
Peran ulama dan santri telah dicatat dengan tinta emas dalam history kemerdekaan Ibu Pertiwi karena bukan hanya mencerdaskan umat dan warga pribumi, melainkan juga mendorong akselarasi kemerdekaan dari belenggu para penjajah Belanda dan Jepang. Dalam hal ini, sosok ulama dan santri menjadi garda terdepan dalam melakukan pemberdayaan umat dan menggugah kesadaran kolektif agar tidak mudah bertekuk lulut di hadapan kebiadaban para penjajah, inilah gambaran dari kecintaan mereka pada bangsa ini dan nilai-nilai luhur dalam Agama Islam, hal ini terbukti bahwa antara keislaman dan keindonesiaan itu tidak dapat dipisahkan atau dipertentangkan karena keduanya harus berada pada derajad yang sama. Islam merupakan nilai-nilai adiluhung dan bersifat global, sedangkan keindonesiaan merupakan realitas sosial yang harus diisi dan dihiasi dengan nilai-nilai itu tanpa harus menafikannya.
Bebarapa hal diatas merupakan sejarah, kontribusi, dan jiwa nasionalisme para ulama dan santri. Jika ditarik dalam konteks kekinian, hal tersebut sebagai pengingat kontribusi dan jiwa nasionalisme santri sudah tidak diragukan lagi. Kala itu, santri berperang (jihad) melawan penjajah, namun pada saat ini kata jihad tidak harus dimaknai perang secara fisik namun yang dimaksudkan adalah begaiamana upaya santri untuk menapaktilasi perjuangan para Ulama dan melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pilar-pilar penjaga NKRI. Sebagai seorang santri,untuk menjalankan fungsi dan tugas tersebut banyak membutuhkan asupan nutrisi, baik itu berupa nutrisi ilmu agama (rohaniah) maupun nutrisi ilmu umum (batiniah).
MEMBANGUN SOSOK NASIONALIS
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai fungsi menciptakan generasi muda yang mempunyai wawasan keislaman dan berakhlak mulia. Lain dari pada itu, untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme santri, pesantren merupakan lembaga yang sangat berperan penting untuk memberikan stimulus-stimulus yang bertujuan untuk menumbuhkan jiwa nasionalis mereka seperti, bermain peran (teater) sebagai pahlawan nasional guna mengingat dan mengenang jasa para pahlawan, memutar film dokumenter tentang memperjuangkan kemerdekaan, dan yang terpenting dari semua itu pesantren harus bisa memberikan gambaran bagaimana berjihad di zaman kontemporer untuk menghadapi era globalisasi. Hal yang seperti ini harus diperhatikan betul oleh negara, karena pesantren dan jiwa nasionalisme santri merupakan aset negara yang tentunya masih berpegang teguh pada 4 sumber ajaran Islam dan 4 pilar kebangsaan
Pahitnya kehidupan di pesantren sudah menjadi keharusan untuk dijalani dengan penuh kesabaran dan kecintaan oleh santri, dari situlah jiwa akan terlatih dan karakter mereka akan terbentuk. Karena seiring majunya zaman, kehidupan akan terasa lebih pahit jika sejak dini tidak pernah terlatih. Untuk menghadapi era globalisasi menjadi sosok nasionalis, mandiri, dan etos kerja yang tinggi memang sudah melekat sejak hidup di pesantren. Ilmu untuk amal, begitulah slogan yang harus direalisasikan oleh santri teruntuk bangsa ini, jadi apa-apa yang sudah didapatkan dipesantren bisa dipersembahkan untuk orang sekitar, agama, dan bangsa, seorang yang berilmu harus membuat kemajuan dan kebajikan untuk umat karena keteladan sangat-sangat diutamakan dari pada orasi lisan.
Jika semua pesantren memiliki metode untuk mengembangkan dan memupuk jiwa nasionalisme santri, maka seluruh santri Indonesia akan memiliki rasa cinta tanah tanah air dan juga menghasilkan santri-santri yang memiliki inovasi, kreatifitas, serta memiliki jiwa madani. Santri harus menjadi aktor diatas panggung kesejagatan dengan pembinaan ajaran Islam yang berisikan nilai-nilai dinamika yang relevan tentunya sesuai dengan konteks yang ada. Dan yang terpenting pesantren harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki santri.
NEGARA HARUS DIKAWAL
Multikrisis yang sekarang menimpa negeri ini merupakan ladang bagi santri untuk menunjukkan semangat nasionalismenya. Jihad saat ini tidak harus dengan mengangkat senjata dan terjun ke medan pertempuran, jihad perlu dikontekstualisasikan dengan zaman, yaitu jihad memberantas kebodohan, pemimpin dzalim, koruptor, ketidak adilan, menumpas berita hoax, serta menolong kaum yang tertindas, dan lain-lain. Karena hal yang demikian dipandang dari segi spirit jihad sendiri dengan mengerahkan segala upaya untuk kemaslahatan agama maupun tanah air. Santri sangat diharapkan kontribusinya dengan membumikan ajaran dan nilai-nilai Islam yang toleran dan cinta damai pada seluruh penjuru bumi pertiwi, lebih-lebih dapat mendunia. Santri dan pesantren tentunya tidak akan menutup mata atas kejadian multidimensi yang melanda negeri ini terkait problematika agama, isu sosial-ekonomi, edukasi, budaya, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Meskipun para penjajah telah hengkang dari negeri ini, namun imperialisme yang berwujudkan Neo-liberalisme tetap berlanjut. Neo-liberalisme merupakan penjajahan terorganisir melalui kehidupan manusia yang meliputi agama, ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang menyebabkan tergerusnya nilai-nilai etis dan moralitas.
Dampak globalisasi memang harus diperhatikan betul karena tidak akan menutup kemungkinan pemahaman tentang Islam yang radikal akan menyerang bumi pertiwi ini, karena Radikalisme itu sendiri merupakan jenis keberagamaan baru yang transnasional yang berusaha menghilangkan segala kultural karena dianggap tidak bersumber dari Islam. Radikalisme tumbuh sumbur bersamaan dengan hiruk-pikuk euforia reformasi yaang membuka kran kebebasan seluas-seluasnya, dari sini santri harus menunjukkan jiwa nasionalismenya untuk menepiskan faham tersebut karena memang sangat bertentangan dengan faham ASWAJA “Islam yang rahmatal lil `alamin”. Jiwa nasionalisme yang dimiliki santri bisa juga berbentuk sikap tawasuth (sikap menengah) karena menurut mantan Ketua Umum PBNU KH. A. Hasyim Muzadi di antara kedua sisi extrem tersebut terdapan pemahaman keagamaan yang berwatak moderat berupaya menyeimbangkan keyakinan dan kesalehan beragama, dengan keniscayaan toleransi terhadap pelbagai bentuk kekerasan atas nama Agama.
Pesantren merupakan ladang untuk membentuk santri sebagai kader ulama yang mempunyai jiwa nasionalisme tentunya akan menjadi aset bagi negara, karena melihat dampak yang akan dihadapi dari globalisasi. Di era globalisasi peluang masuknya sikap-sikap radikalis sangat terbuka lebar, yang hanya kan membuat nafas sesak karena hantaman sejarah yang bertubi-tubi dan akan menempatkan muslim pribumi dalam posisi bengis, hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang ilmu agama (pemahaman agama yang salah), ketimpangan ekonomi, penindasan, dan ketidakadilan. Cara menghilangkan hal tersebut, santri harus mengamalkan ilmunya yang telah peroleh dan bisa menempatkan diri dalam situasi yang ada, agar memberikan kemanfaatan bagi orang lain (umat) dengan cara diajarkan kepada mereka baik secara langsung maupun tidak langsung (berbagi lewat sosial media). Dari sini penduduk pribumi dapat mengetahui apa yang bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat, serta mengetahui apa yang berbahaya bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat, hal ini tentunya bersumber dari siapa mereka belajar.
GERAKAN MENDASAR
Seiring berkembangnya zaman, arti jihad semakin kontemporer dan kontekstual penerapannya. Peran dan fungsinya harus sama-sama diperuncing dengan usaha tidak melupakan sejarah agar generasi milenial dapat mengambil dan menapaktilasi semangat juang dan nasionalis kaum santri untuk membentengi dan mempertahankan kemerdekaan Ibu Pertiwi. Selain itu, sejarah Ibu Pertiwi tidak dapat diceraikan dari sinergi antara kaum nasionalis dan kaum agamis yang dapat kita gambarkan pada sosok Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari yang tidak memisahkan antara kewajiban membela Agama dan Bangsa, sebab keduanya bisa sama-sama dijalankan dan lebih-lebih saling mendukung. Melihat fakta yang terjadi sekarang semangat keagamaan dan kebangsaan sering diekspresikan dengan kekerasan, baik lembaga-lembaga maupun gerakan keagamaan yang juga mendeklarasikan kekerasan.
Sebagai kader ulama yang moderat, santri sangat perlu untuk menapaktilasi dan mengkaji pejuang-pejuang terdahulu guna membangkitkan semangat nasionalisme agar dapat menepis munculnya radikalisme dan ekstrimisme yang nantinya bisa menyebabkan retaknya NKRI serta umat Islam Nusantara tidak kehilangan identitasnya. Untuk menjaga identitas dan keutuhan NKRI sifat yang cenderung toleran dan adil dalam melihat setiap persoalan dari berbagai aspek, namun jika ada sebuah perbedaan sebagai santri yang moderat adalah memberi toleransi dalam konteks persaudaran kemanusiaan. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya cekcok perang saudara yang bisa menyebabkan terpecahnya NKRI. Pernah ada kata-kata “Apabila para penjajah datang menyerbu negeri ini, para santri siap berdiri paling depan untuk membelanya. Sedangkan pejabat akan lari terbirit-birit mencari perlindungan walaupun setiap hari senin mereka mengangkat tangan hormat kepada bendera”,
Sudah tiba zamannya, dimana sudah banyak orang yang berselancar di dunia virtual digital, maraknya isu-isu miring (hoax) dari dunia luar dan tidak menutup kemungkinan akan diserap oleh kaum yang awam, akan menjadi momok yang menakutkan jika hal tersebut menyebabkan orang menjadi faham radikalisme, komunisme, ekstrimisme dsb, yang dapat memecah belah bangsa. Sebagai santri yang berjiwa nasionalisme harus melek literasi minimal bisa menulis berita, opini dan syukur-syukur bisa menulis buku dan kitab. Maka prinsip bermedsos juga harus dimiliki oleh santri, namun harus tetap berpegang teguh pada etika, logika, dan prinsip muamalah medsosiyah, dari sini disiplin tabayyun harus benar-benar diutamakan karena membuat, membagikan, dan memviralkan suatu berita tanpa adanya tabayyun sama halnya membagikan kotoran pada orang lain. Jadi tugas seorang santri harus mencegah tersebarnya berita-berita hoax.
Gerakan-gerakan mendasar seperti itu memang perlu dilakukan karena selama ini berita hoax sering menyerang pada kalangan ulama, maka dari pilar literasi berupa baca, tulis dan arsip harus berjalan. Santri harus pandai membaca situasi yang terjadi, selain lihai dalam membaca dan pengarsipan dalam bentuk kitab kuning. Sangat yakin sekali, jikalau kemampuan literasi kita mapan, maka persoalan memperkuat persatuan dan kesatuan serta kebhinnekaan akan mudah digapai dan dipertahankan.
Kalau selama ini banyak pihak-pihak yang mengkerdilkan pemikiran Islam dan gerakan-gerakan mendasar terutamanya dari golongan pesantren dan santri, hal tersebut sangat tidak bisa dibenarkan. Karena dari pemikiran dan gerakan tersebut sudah mempunyai visi kebelakang dan jauh kedepan. Jika ulama terdahulu menyampaikan pemikirannya melalui dakwah dan dalam bentuk tulisan, maka santri sekarang harus mampu meneruskan perjuangan tersebut dengan meyalurkan karya-karya melalui media internet dan semacamnya, dengan harapan akan berguna bagi umat dikemudian hari. Terlalu sempit jika santri hanya bisa mengisi pos-pos dalam berdakwah dan mengajar saja, santri juga bisa mengisi pos-pos yang berorientasi di bidang organisasi, lembaga kemasyarkatan, advokat, bahkan pemerintahan dengan catatan nilai-nilai dan akhlaq pesantren harus tetap dikedepankan.
Jika masa sulit-sulit terdahulu para ulama dan santri mampu menuangkan pemikirannya, lebih-lebih sumbangsihnya terhadap bangsa sangatlah besar, sebagai santri yang hidup di era kontemporer harus mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran sebelumnya lebih-lebih dapat melampauinya. Itulah tugas kita sebagai santri dalam melestarikan pemikiran-pemikiran sosial keagamaan dan dapat menerapkannya dalam konteks keindonesiaan dan kemanusian yang bersifat mondial. Media cetak dan media internet, santri harus menunjukkan eksistensinya untuk mentranformasikan hal terebut agar bisa dikonsumsi oleh masyarakat luas, sehingga konsumen dari karya pemikiran santri mempunyai kepercayaan yang cukup tinggi bahwa bangsa yang besar ini memiliki mutiara-mutiara pemikiran yang berisikan harapan sebuah cahaya baru keindonesian.
Karakter santri terhadap Negara di tengah arus modernitas dan wajah media yang tak menentu, santri harus tetap menjaga kebiasaan lama yang baik (almuhafadzotu qodimis sholih) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (wal akhdu alal jadidil aslah). Karakter santri yang selalu diidentik dengan kebhinnekaan harus tetap dilestarikan. Pendidikan yang diajarkan kepada santri tidak selalu dengan kitab kuning, melainkan dalam jiwa mereka telah ditanamkan cara bermuamalah, baik secara individu maupun sosial. Rasa empati maupun simpati santri dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama telah menggambarkan bahwa santri memiliki jiwa dan raga yang selalu siap membela negara. Kehidupan berbangsa ini membutuhkan jiwa kesalehan untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan apalagi sekedar menyalahkan. Kaum muda termasuk santri memang menjadi kunci sukses hadirnya praktik kesalehan berkebangsaan, yang outputnya sangat dibanggakan dalam kehidupan yang damai dan berkemajuan.
H. Fathor Rohman, S.Pd.
Guru Pondok Pesantren Al-Qodiri 1 Jember
dan SMPN 2 Tempurejo
What's Your Reaction?