Terima Kasih Guru-Guru Hebat Indonesia
WAKTU pembagian raport semester genap 2020/2021 kemarin, seorang guru wali kelas di Depok, Jawa Barat, mengeluh: “Saya stres. Sangat stres. Walau jam mengajar berkurang, tapi saya malah banyak menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pelajaran, mengevaluasi siswa satu per satu secara online, memberi tugas, menunggu dan tidak semuanya berjalan mulus. Hampir tidak bisa tenang.”
Pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini masih ada sekolah yang mewajibkan guru-guru datang pukul 8 pagi sampai 12 siang. Yang membuat stres, guru datang ke sekolah hanya untuk menghadapi HP dan laptop. Bukan untuk bertemu dengan murid-muridnya.
Pemicu guru stres yakni jam bekerja mereka malah semakin bertambah. Harusnya berkurang tapi malah bertambah karena tak semua siswa stand by saat belajar dalam jaringan (daring) walaupun sudah diberikan batas waktu. Belum lagi tekanan dari para orang tua siswa. Sering mereka tidak setuju dengan pembelajaran ini sehingga seolah-olah menyalahkan guru. Dan masih ditambah lagi dengan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Makin stres jadinya.
Jika guru dapat mengelola stres dengan baik maka hasilnya akan produktif, bahagia. Sebaliknya kalau tidak bisa kelola dengan baik maka stres akan berdampak buruk. Stres dapat dideteksi sejak dini dengan gejala-gejala seperti pening, mudah marah, tersinggung, rasa takut tanpa sebab dan tidak bergairah. Efek psikologis yang ditimbulkan bisa berdampak serius terutama mereka yang sudah hidup dengan kondisi masalah mental seperti kecemasan dan Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Kondisi seperti ini pasti juga dirasakan guru. Jika sebelumnya guru mengajar tatap muka setiap hari, kali ini tugas guru berubah dan bertambah. Bukan hanya kesehatan mental yang harus ia perhatikan namun juga cara mengajar dan mengatur waktu serta memperhatikan peserta didik untuk pembelajaran daring. Diperlukan kekuatan fisik dan mental agar tidak mudah tumbang dan bisa menginovasi peserta didik.
Saat pandemi melanda, dunia seperti menuntut terlalu banyak pada guru. Para guru melakukan hal-hal yang tidak mereka pelajari di sekolah guru. Banyak pendidik merasa tertekan, dibayar rendah dan dibebani kasus siswa tinggi. Mereka dituntut untuk terampil dalam pedagogi cinta dan kesepian, sementara mereka sendiri mengalami tekanan psikologis. Untuk mengatasi implikasi kesehatan mental dari mengajar selama pandemi, para pendidik mencoba untuk "menormalkan yang tidak normal".
Sudah bisa dipastikan pandemi Covid-19 belum akan berakhir dalam waktu dekat. Sekolah masih harus tutup. Walau pemerintah sudah mengeluarkan keputusan untuk persiapan belajar tatap muka, namun kalangan medis dan akademis menyarankan agar tidak boleh gegabah membuka sekolah saat vaksin belum teruji keampuhannya.
Tahun 2021 ini para guru memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap mengajar dari jarak jauh. Namun mereka juga memiliki lebih banyak waktu untuk cemas tentang kinerja mereka. Ketakutan akan kegagalan dan perasaan bersalah dapat meningkat pada semester ini. Latihan yang ditingkatkan, keinginan mereka untuk berkembang, dan tekanan untuk bekerja dengan baik mungkin menjadi sumber stres.
Selama sekolah tutup dan pandemi Covid-19 masih mengancam, guru disarankan mengajar dengan tetap menjalankan semangat Merdeka Belajar.
Ada dua prinsip pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi yakni:
1.Tidak Membahayakan.
Sebagaimana guru di seluruh dunia mencoba untuk mengurangi kemungkinan kerugian dalam belajar karena gangguan sekolah, keselamatan dan kesejahteraan siswa (students well-being) harus menjadi hal terpenting untuk dipikirkan. Upaya penyampaian kurikulum secara jarak jauh tidak menciptakan lebih banyak stres dan kecemasan bagi siswa dan keluarganya.
2. Realistis.
Guru hendaknya memiliki ekspektasi yang realistis mengenai apa yang dapat dicapai dengan pembelajaran jarak jauh, dan menggunakan penilaian profesional untuk menilai konsekuensi dari rencana pembelajaran tersebut.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 mengarahkan PJJ atau belajar dari rumah sebagai berikut:
1. Memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum kenaikan kelas maupun kelulusan.
2. Memfokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19.
3. Memberikan variasi aktivitas dan tugas pembelajaran belajar dari rumah antar-siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar dari rumah.
4. Memberikan umpan balik atas produk aktivitas belajar dari rumah yang bersifat kualitatif dan berguna bagi guru, tanpa diharuskan memberi nilai kuantitatif.
Mempertahankan kesehatan mental sudah sulit di semester lalu. Dan akan sulit lagi di semester depan.
Sebagai penutup: guru-guru harus menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Guru harus menjaga perspektif dan filosofi mengajar dengan teguh. Guru juga harus memaafkan diri mereka sendiri karena pengajaran selama pandemi ini jauh dari sempurna. Guru tidak boleh menginternalisasi rasa bersalah karena tidak dapat mengajar dengan maksimal. Mereka harus melepaskan perasaan bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak dapat mereka kendalikan.
Tidak ada guru yang sempurna. Yang kita saksikan selama 18 bulan masa pandemi ini adalah guru-guru hebat Indonesia. Yang terus berjuang untuk mengajar dengan segala keterbatasan. Mas Menteri Nadiem Makarim harus mengakui hebatnya guru-guru Indonesia. Salut.
JOTZ
What's Your Reaction?